xii. ー debt of gratitude

234 41 4
                                    

(Name) sudah pulang dari rumah sakit. Kini ia sedang bersiap untuk pergi kesekolah. Ia berharap tidak akan terjadi masalah lagi setelah yang kali ini. Tapi, (Name) tidak yakin.

Ia menatap jalanan dari jendela mobil yang ia tumpangi. Sesekali (Name) melihat ada anak sekolah yang memakai seragam sepertinya. Beda halnya, mereka ada yang berjalan dan menaiki sepeda.

Apa (Name) juga harus mencobanya? Terdengar bagus. Ngomong-ngomong Tsukishima kesekolah bagaimana, ya?

(Name) menggelengkan kepalanya karena tiba-tiba ia teringat akan Tsukishima lagi.

Setibanya disekolah, (Name) langsung mendudukkan badannya ditempatnya. Terlihat Tsukishima yang pagi-pagi sudah menidurkan kepalanya dimejanya sambil memasang headphone ditelinganya.

Sebenarnya, (Name) penasaran karena Tsukishima selalu saja mendengarkan lagu. Lagu apa yang ia dengarkan? Apa Tsukishima satu selera dengan (Name)? Huft, lagi-lagi (Name) menggelengkan kepalanya karena terus memikirkan Tsukishima.

"Hobimu memang menatap orang, ya?" Tiba-tiba Tsukishima berbicara walau kepalanya masih tertidur dimeja.

(Name) gelagapan bukan main, ia tidak tau kalau Tsukishima sebenarnya tidak tertidur. "T-tidak juga!" (Name) mencoba menyangkal perkataan Tsukishima barusan.

Tsukishima menegakkan badannya dan menatap (Name), "cih, kenapa kau sudah keluar dari rumah sakit? Bukannya kau masih sakit?"

(Name) juga bingung, sebenarnya ia tidak tau harus berada dirumah sakit atau harus sekolah. Ia seperti tidak mempunyai gairah untuk melakukan apapun.

Menjawab dengan mengendikkan bahu, (Name) tersenyum tipis. "Aku sudah sembuh."

Tsukishima lagi-lagi mendecih dan memutar kedua bola matanya. "Aku tau kau akan menjawab itu."

(Name) menghela napas, ia selalu saja kalah telak jika berbicara dengan Tsukishima. (Name) tidak tau harus menjawab apa karena omongan Tsukishima selalu menusuk hati, jantung, dan juga paru-parunya.

Hening seketika, tidak ada percakapan diantara keduanya.

"Kei-kun," (Name) memanggil Tsukishima. "Aku hanya mau berterima kasih karena telah menolongku waktu itu. Hontoni, arigatou."

Tsukishima tidak bereaksi. Ia juga tidak tau kenapa ia menolongnya. Jujur saja, dirinya pun bingung dengan perasaan ini.

"Berarti kau berhutang budi padaku." Lontar Tsukishima yang membuat (Name) membulatkan matanya.

"Eh?! Apa maksudnya?!"

"Aku kan sudah menolongmu. Jadi, kau berhutang budi padaku. Apa itu kurang jelas untukmu?"

(Name) menghela napasnya dan menunduk lemas. "Kalau tau akan seperti ini, seharusnya kau biarkan aku mati saja."

Tsukishima menatap tajam (Name). "Apa?? Katakan sekali lagi."

(Name) pun ikut menatap Tsukishima. Terjadi eye contact diantara keduanya. "Kalau tau akan seperti ini, seharusnya kau biarkan aku mati saja." Ulang (Name) dengan nada datar.

Tatapan Tsukishima terlihat seperti tidak suka. Bukan, ia terlihat benci saat (Name) mengatakannya.

Tsukishima menahan tawanya dengan sarkas. "Kau benar, seharusnya aku biarkan kau mati saja. Untuk apa aku menolongmu jika kau tidak ingin hidup, kan? Buang-buang waktuku saja."

(Name) heran dengan perilaku Tsukishima barusan. Sebenarnya, apa yang ia maksud, kan? (Name) tidak mengerti.

"A-aku-" (Name) hendak menjawab, tapi Tsukishima memotongnya.

𝐀𝐍𝐗𝐈𝐄𝐓𝐘 :: tsukishima kei [HIATUS]Where stories live. Discover now