1. Tuan Putri dan Morfin

68 15 14
                                    

LORI

Aku tak akan pernah siap masuk penjara, meski aku terbukti bersalah. Itu tempat yang dingin dan mengerikan, tempat orang-orang terbuang mendekam. Dan aku tak mau mengidentifikasi diriku sebagai bagian dari mereka, karena aku merasa tak pernah memiliki benda itu apalagi menggunakannya. Entah bagaimana morfin seberat lima gram itu sudah berada dalam tasku. Aku yakin seseorang sedang mencoba menghancurkanku.

"Kau yakin tidak tahu kenapa ada morfin di dalam tasmu?"

Aku mengangguk lemah, ini sudah kesepuluh kalinya petugas investigasi menanyakan hal itu seakan ia sangat menunggu saat-saat di mana aku lengah dan membuat seolah aku akan mengakui sesuatu yang tidak kulakukan. Mom melarangku menjawab hal-hal yang berpotensi membuatku dicurigai sampai pengacara keluargaku datang dan hasil tes urine keluar. Aku hanya berharap tak ada yang mencurangi hasil tes itu seperti bagaimana morfin tiba-tiba secara ajaib berada dalam tasku, kebetulannya lagi hari itu sekolah sedang mengadakan razia. Padahal terakhir kali mereka melakukannya adalah tahun lalu, seolah pelakunya sudah memperkirakan kapan waktu yang tepat untuk menyeretku ke penjara.

"Katanya, kau cukup kesulitan dengan nilai akademik tahun lalu?" Petugas Erlord tak menyerah bertanya meski tahu aku tak akan buka suara. "Keluargamu punya rumah sakit dan kerabat-kerabat asiamu cukup terkenal dengan kesuksesan akademik mereka. Bagaimana kau bisa berakhir seperti ini? Kau pasti tertekan."

"Apa maksud Anda?" Aku tak bisa menahannya, jemariku sudah tertekuk, membentuk tinjuan yang tertahan.

"Bukankah semua itu terasa sangat menyedihkan ketika kau bahkan tak terlihat menonjol dalam keluargamu sendiri. Kau pasti stres dan butuh sesuatu untuk menenangkan dirimu?"

Ah, pertanyaan jebakan. Tetapi sejujurnya apa yang dia katakan juga tidak salah. Aku paling benci dibanding-bandingkan dengan kerabat-kerabat lainnya yang keturunan asia. Bahkan keluarga besarku sendiri terkadang juga ragu apakah aku benar-benar anak ibuku atau bukan. Meski wajahku sangat asia, rambutku terlalu pirang untuk ukuran keturunan orang barat yang berambut cokelat.

Aku menghela napas mencoba menenangkan diri. "Aku mungkin memang tidak begitu pintar dan berbakat, tetapi setidaknya aku tahu diri untuk tidak membuat orang tuaku kecewa. Aku tak akan pernah menyentuh barang-barang itu walaupun aku sudah di ambang batas atau nyaris mati karena tekanan yang kuhadapi." Mataku sudah panas, aku hampir menangis saat mengatakannya. Petugas Erlord tampak ingin menanggapi sebelum seseorang datang menginterupsi dan memberitahukan hasil tes uriku.

Aku dinyatakan negatif dari penggunaan narkoba, tak ada morfin yang terdeksi.

“Kau tidak apa-apa, Hiori-chan?” aku mengangguk, aku suka saat dia memanggilku dengan nama jepangku.

Mom memelukku begitu erat saat aku keluar ruang investigasi. Aku tahu aku sudah mengecewakannya, tetapi dia tetap memelukku dengan hangat seolah aku baru saja menyelamatkan dunia. Jika ada orang yang sangat ingin kulindungi andai aku seorang pahlawan super, sudah pasti Mom adalah prioritasku.

Dad sangat berbeda dengan Mom, dia sangat tegas padaku dan jarang sekali kami berbicara dengan santai seperti ayah dan anak pada umumnya. Tidak, bukan masalah aku anak kandungnya atau bukan. Aku jelas anak kandungan, keraguan keluarga besarku sendiri yang membuat kami melakukan tes DNA dan membuktikan aku memang anaknya. Hanya saja hubungan kami tak sedekat itu, tak ada masalah tetapi juga tidak begitu dekat untuk bisa kukatakan dia menyayangiku.

"Kalau sadar kau tidak pintar, minimal jangan nodai catatan kesiswaanmu."

Itu satu-satunya hal yang Dad katakan begitu aku dan Mom tiba di rumah setelah menjemputku dari kantor polisi. Dad sepertinya memang tak akan bisa bangga padaku. Aku seperti aib di keluarga besarnya maupun keluarga besar ibu. Ya siapa juga yang akan percaya orang dengan nilai matematika terendah nomor lima seangkatan adalah anak dari nyonya kepala rumah sakit dan tuan pemilik perusahaan konstruksi.

Aku terkadang iri dengan adikku yang jauh lebih pintar dariku, meskipun penampilannya terlihat cupu, Neil juara satu lomba membuat game tingkat SMA di kota ini. Dad selalu membandingkanku dengannya, terkadang aku merasa seperti anak buangan yang harus disembunyikan.

"Mau main Fortnite denganku?"

Aku menggeleng saat Neil tiba-tiba masuk ke kamarku dan mengajak bermain gim bersama. Biasanya aku mau-mau saja. Masalahnya, hari ini segalanya terasa sangat berat dan aku benar-benar tak ingin melakukan apa-apa atau pun berbicara dengan orang lain.

Bukannya pergi, Neil malah menutup pintu kamarku dan tahu-tahu sudah duduk di sudut kasur, membuatku mau tak mau bangun dan memelototi sosok yang membuat kasurku terasa tak seimbang. "Mau apa kau?"

"Mom bilang tesnya negatif. Aku percaya kau tak mungkin melakukan itu," katanya sambil menatapku dengan mata lebar dan antusias.

Ya, aku pun juga tak akan mungkin memakai barang semacam itu. "Kau kelihatan lebih senang dari aku ya?"

Neil mendekat. "Bagaimana rasanya diinvestigasi? Apakah itu menyenangkan?"

"Mana ada orang bahagia diinvestigasi, yang ada aku kesal karena disudutkan terus," balasku ketus.

Sebenarnya aku tak terlalu suka berada di dekat Neil, orang-orang terlalu sering membandingkanku dengannya sampai-sampai aku berpikir tak sepantasnya aku berada di sekitarnya. Bagiku Neil terlihat terlalu bersinar dan mustahil aku bisa menjadi seperti dia. Kadang-kadang aku sering mengusirnya, seolah tak menginginkan keberadaannya. Tetapi orang pertama yang selalu datang saat aku sedang memiliki masalah adalah Neil. Bahkan hari ini bukan geng sahabatku yang menemaniku di ruang detensi sambil menunggu polisi datang, justru Neil yang berada di sana untuk menggenggam tanganku dan melewatkan kelas fisikanya.

"Lalu ... kenapa itu bisa ada di tasmu?"

Aku menggeleng tak paham. "Aku juga mempertanyakan hal yang sama. Terakhir kali aku memakainya adalah hari sabtu untuk les piano. Dan tadi malam saat memasukkan buku juga tak ada benda itu."

Neil beringsut mendekat, kini wajahnya kelihatan lebih serius. Aku benci ekspresi itu, karena aku jadi ingin tertawa. Neil tak cocok dengan wajah serius.

"Apa hari ini kau sempat melepas tasmu? Barangkali di kelas atau di toilet?"

Aku mencoba memanggil ingatan tadi pagi sebelum razia. "Aku melepasnya saat pergi ke toilet, menitipkannya pada Ilesse dan Doria. Dan juga di kelas Miss Kyle karena dia mengajak kami melakukan pemanasan jari sambil berdiri."

"Kalau begitu ada saksi atau pelaku yang lebih dari satu."

Aku menatapnya tak percaya.

"Bicara apa kau? Kau menuduh teman-temanku?"

Neil tersenyum miring. "Kau masih menganggap mereka teman?" Dia menarik napas tiba-tiba. "Mereka bahkan tak membelamu saat kau kena razia tadi."

Aku tak seperti Neil yang punya segalanya, kecerdasan, perhatian, dan masa depan. Yang kumiliki hanyalah kecantikan dan popularitas. Semua orang hanya mendekat padaku karena itu. Jika reputasiku hancur, aku takut tak ada lagi yang bertahan di sisiku. Kata-kata Neil jelas membuatku sangat takut.

"Tetapi mereka membantuku mencari pemeran untuk tugas proyekku," aku berusaha menyanggahnya. "Kau tak bisa menganggap mereka tidak baik hanya karena mereka tak berbuat baik sekali saja."

Neil menaikkan alisnya. Dia turun dari kasurku dan bersiap pergi. "Apa mereka bahkan menelepon dan menanyakan keadaanmu?" tanyanya sebelum menutup pintu dan keluar.

Aku gelagapan dan segera mengecek ponselku. Aku menghela napas. Kali ini Neil salah, mereka tetap mengkhawatirkanku dan meneleponku berkali-kali.

Hanya saja ada satu pesan dari partner proyek kelas seni filmku yang cukup menyita perhatian.

Hai tuan putri, kuharap kau terbukti tidak bersalah karena orang-orang mulai meninggalkan proyek kita. Hanya tersisa satu aktor.

Sial!

Moonlight And RosesWhere stories live. Discover now