20. Loyal dan Royal

3 0 0
                                    

KIRK

Lori pasti sudah gila.

Pagi-pagi dia sudah berada di depan gerbang rumahku dengan baju santai, dia bilang karena minggu depan adalah minggu terakhir sekolah maka kami tak ada waktu lagi untuk mencari sisa cast kalau tak segera memaksa satu atau dua orang mulai hari ini. Dan dia dengan santainya merekomendasikan Ilesse untuk masuk ke dalam proyek kami. Aku memicingkan mata heran.

"Aku tak salah dengar, kan?"

Dia tampak tak peduli dan terus menggulir layar ponselnya. Aku agak kesal dan segera merebut ponsel itu sampai dia mau menatapku.

"Apa sih?" Desisnya. "Kembalikan ponselku, Kirk!"

Aku yang lebih tinggi darinya sengaja mengangkat ponsel itu melewati kepalaku, membuatnya balik merasa kesal. Ah, rasanya aku deja vu dengan adegan ini. Seperti saat aku mengutarakan perasaanku beberapa hari lalu. Anehnya sampai hari ini Lori tidak membahas soal itu lagi. Sepertinya dia tak tertarik menjalin hubungan denganku. Tapi dia menciumku. Menciumku duluan.

"Apa kau demam atau sedang mabuk?" Telapak tanganku menempel pada kening halusnya beberapa detik sebelum dia menjauhkan tanganku. "Untuk ukuran orang kepepet, kau cukup gila mengajak selingkuhan ayahmu bergabung dalam proyekmu." Aku menyeringai padanya. "Kau yakin dia tak akan akan memgkhianatimu? Bisa saja dia mengganggu jalannya syuting."

Lori menghela napas. "Justru aku butuh dia melakukannya."

Mulutku terbuka lebar, tanda tak percaya. "Apa?"

Aku tak sadar tanganku sudah agak menurun dan Lori memanfaatkan kelengahanku untuk mendapatkan kembali ponselnya. Aku agak tersentak gara-gara gerakannya.

"Aku ingin tahu apa yang akan dia lakukan padaku selanjutnya," kata Lori sambil kembali menekan layar ponsel itu. Aku tak sempat mengecek apa yang sebenarnya dia lakukan lantaran terlalu terkejut dengan gebrakan gila yang hendak dia lakukan.

"Maksudmu bagaimana?"

Lori menatapku dengan ragu. Dia berdeham canggung, aku merasa ada yang dia sembunyikan dan aku yakin jawabannya tak akan selengkap apa yang sebenarnya sedang dia rencanakan. "Dia terus menggangguku selama ini, Doria memberitahuku kalau yang mencalonkanku dan kau dalam nominasi raja dan ratu prom itu dia."

Aku menyender ke gerbang rumahku, sepertinya sekarang masalah antar cewek mulai agak menarik. "Lalu?"

Lori mematikan ponsel dan menatapku sepenuhnya. "Dia kemudian membuat propaganda seolah kita akan serasi jadi pasangan kriminal kalau menang. Kau tahu kalau Ilesse lebih populer dariku, kan?" Aku mengangguk. Seingatku memang seperti itu dan Lori berada dalam bayang-bayang Ilesse tetapi gadis itu sepertinya tak terlalu mempermasalahkannya sebab baginya yang penting dia punya banyak teman sejak aku memutus pertemanan kami. "Jelas dia pikir mungkin dia yang bakal jadi ratu, dan kau yang paling mungkin jadi kandidat raja karena perolehan suaramu cukup tinggi. Jujur saja kau cukup mempesona daripada kandidat lainnya," lanjutnya dengan agak menunduk.

"Oh?" Aku terkekeh dan menarik dagunya, mengangkat wajahnya yang agak merah. Lucu sekali dia sudah mengakui ketampananku.

"Singkirkan tanganmu." Lori menepis lenganku dan agak menjauh. Setelah memalingkan muka, dia melanjutkan, "Kata Doria, dia sengaja ingin dipasangkan denganmu agar aku merasa kalah. Karena dia pikir dengan kedekatan kita selama ini mungkin kita punya hubungan, padahal kan tidak."

Aku menaikkan salah satu alisku. "Oh, kau tak mau punya hubungan denganku?"

Pipi Lori yang semula putih gading kembali bersemu merah seperti udang rebus. "Bukan begitu."

"Jadi, kau mau?" Aku berusaha menggodanya lagi meski akhirnya dia malah menghadiahiku pukulan lemah khas orang yang tidak pernah berolahraga. "Jangan bahas itu sekarang."

Aku tersenyum tulus dan mengangkat kedua tanganku setinggi dada, tanda menyerah. "Baiklah-baiklah. Lanjutkan, princess."

Wajah Lori masih agak merah dan kesal, tetapi dia tetap melanjutkan. "Tapi dia tidak menyangka kalau sebagian orang malah tertarik untuk memilihku, bahkan kemenanganku adalah sesuatu yang sama sekali tidak dia perkirakan sebelumnya."

"Mungkin mereka ingin memenuhi fantasi mereka mengenai kemenangan raja dan ratu kriminal," sahutku dan Lori mengangguk setuju. "Tetapi itu masih tak menjelaskan alasanmu membiarkannya masuk dalam proyek kita. Kau jangan gila dengan merisikokan pekerjaan kita."

Dia menarik napas gelisah. "Sebenarnya aku ingin menjebaknya, jika dia ketahuan melakukan sesuatu di depan orang lain, terutama orang semacam Kellan dan Elijah yang cukup dipercaya omongannya karena kecerdasan mereka, mungkin saja kita bisa menunjukkan warna sebenarnya dari Ilesse pada orang lain."

Aku tertawa bingung. Dan Lori kelihatan lebih bingung mendengar tawaku. "Lori, she is mean girl. Semua orang sudah tahu bagaimana perilakunya dan mereka jelas takut padanya," ujarku. Bagaimana bisa Lori berpikir Ilesse sebelumnya tak seburuk itu? "Tanpa kau lakukan pun semua sudah tahu."

Dia terdiam, tak mampu menyangkal kata-kataku. Aku bersedekap.

"Kau sebenarnya hanya ingin balas dendam, kan?" Dia tak menjawab, tatapannya terlihat takut. "Tenang saja, apa pun akan kulakukan untukmu."

Ide gila Lori memang betulan gila, dia malah menawarkan sepupu-sepupunya yang katanya tampan dan mempesona untuk kencan dengan teman-teman segengnya (aku sebenarnya tak yakin apakah mereka masih saling tulus berteman atau tidak)

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ide gila Lori memang betulan gila, dia malah menawarkan sepupu-sepupunya yang katanya tampan dan mempesona untuk kencan dengan teman-teman segengnya (aku sebenarnya tak yakin apakah mereka masih saling tulus berteman atau tidak). Doria tampak tak tertarik dengan tawaran itu, kata Lori anak itu cuma mengincar Neil.

"Apa kesepakatannya cuma itu? Kau memotong liburan musim panas kami, loh." Ilesse menumpukan dagunya di kedua tangan. Mencoba memberi kesan penuh intimidasi. Aku tahu Lori kadang-kadang bisa benar-benar merasa terintimidasi dengan cara seperti itu.

Tanganku bergerak memegang jemarinya, meyakinkannya kalau dia tidak sendirian. "Kalau begitu apa yang kau mau sebagai imbalannya?"

Ilesse tampak berpikir, rambut pirang bergelombangnya tampak berkibar diterpa angin sore. Seingatku warna asli rambutnya itu cokelat, dia mulai mengecatnya sejak berteman dengan Lori. Orang yang menyadarinya pasti tahu kalau dia cukup berhasrat mengimitasi temannya sendiri. Sayangnya, mata Lori yang terlihat lebih kecil khas orang asia timur menbuat orang-orang ragu rambutnya betulan pirang. Ah, malah dia yang dapat hujatan.

"Aku tak mau uang. Kau tahu aku sudah kaya."

Sial, sombong sekali sih.

Aku benar-benar sudah akan berteriak di depan wajahnya sekarang juga kalau saja Lori tak menahan lenganku di bawah meja.

"Baiklah, apa yang kau mau?" Tanya Lori padanya setenang mungkin. Aku kagum dia masih tak punya keinginan berteriak pada teman busuknya itu.

Ilesse tak menjawab, dia malah memalingkan wajahnya padaku. Memindaiku dari atas sampai bawah. Lalu mengarahkan dagunya padaku. Apaan sih?

"Aku mau kencan dengan dia dua kali seminggu selama kita syuting."

Aku mendelik kesal, tetapi lagi-lagi Lori menahanku saat aku berniat melempar gelas jus jeruk di meja padanya.

Kami saling bertatapan, aku mengerutkan alis tanda tak setuju tetapi Lori kelihatan sedang memohon padaku. Dan tanpa menunggu persetujuanku dia malah langsung menjawab. "Aku setuju. Kau boleh berkencan dengannya."

Moonlight And RosesWhere stories live. Discover now