3. Duri dan Tembok

22 8 13
                                    

LORI

Mati saja sana!

Aku memandangi kalimat bercetak tebal di kertas kusut yang kutemukan di lokerku itu. Aku tak mengerti kenapa kebencian yang datang padaku begitu masif dan anarkis. Apakah mereka sebenarnya benar-benar sangat membenciku?

Hari itu masih pagi, tidak banyak orang berlalu-lalang di lorong tempat loker kami. Aku tak menyangka, meski aku tak terbukti bersalah semuanya masih memandangku seperti sampah. Bahkan di web forum sekolah, orang-orang masih membicarakanku seakan aku satu-satunya aib yang membuat nama sekolah jelek. Kabar itu cepat sekali masuk berita, apa lagi setelah orang-orang tahu Lori Austin-Asano anaknya pemilik Asano Family Hospital yang menangani tes urine para pengguna narkoba.

Awalnya aku tak berniat masuk kelas setelah melihat tatapan orang-orang dari ambang pintu, ruangan itu tak terlalu penuh tetapi mereka cukup sinis untuk membuatku melangkah mundur.

"Kau jadi masuk atau tidak?"

Kirk berdiri di belakangku saat aku berbalik, dia memegang pundakku dan mendorongnya pelan. Kakiku masih terasa berat untuk masuk kelas, dia menyadarinya dan malah menarik tanganku agar cepat mencari tempat duduk.

"Jangan coba-coba melarikan diri lagi dan membiarkanku presentasi sendirian," katanya setelah dia duduk di sebelahku.

Harusnya hari ini adalah presentasi perkembangan proyek film pendek kami. Aku dan Kirk sudah pasrah jika Mr. Finn tidak memberi kami nilai untuk pelaporan kemajuan. Naskahnya masih setengah, satu-satunya aktor yang masih tersisa hanyalah sepupu Kirk dan dua kru yang juga temannya.

"Aku juga tak berniat kabur," bisukku padanya.

Kirk mendekatkan bibirnya tepat di sebelah telingaku, bahkan rasanya aku dapat mendengar suara napas anak lelaki itu. "Jangan bohong, kau mau proyek kita kacau? Si tua Finn tak akan mau memberi nilai kalau kita tidak datang berdua."

Aku mendorong kepalanya menjauh begitu ia selesai berbisik. Entah kenapa saat dia berbisik seperti itu aku merasa risih, geli, dan panas di saat yang bersamaan. "Iya, iya. Aku tak akan kabur lagi."

"Kau tahu kan kalau proyek film ini sangat penting bagiku?" tanyanya lagi, kali ini dengan cara berinteraksi yang normal.

Aku menghela napas. "Bukan kau satu-satumya yang membutuhkan ini."

Setelahnya hanya ada keheningan canggung sampai giliran kami untuk maju menghadap Mr. Finn. Dia adalah guru kelas seni film kami, dia sangat mementingkan kualitas naskah dan hasil produksi dibandingkan aspek lainnya, dia bahkan tak peduli kisah Layla Majnun yang ditulis ulang dalam format space opera milik kelompok Michelle dan Walter diperankan oleh orang korea. Jangan tanya padaku bagaimana mereka bisa casting orang korea asli, Michelle kadang-kadang terlalu banyak teman.

"Jadi, rencanya kapan kalian mulai casting lagi?"

Aku dan Kirk saling bertatapan sebelum ia yang angkat bicara. "Kami akan menyelesaikan naskahnya dulu."

Mr. Finn menaikkan alisnya, membuat kacamata yang bertengger di hidung agak kendur dan merosot. "Aku ragu kalian bisa mengejar ketertinggalan ini tepat waktu."

Aku meneguk ludah, ah, jelas sekali kami tak bisa mengelak untuk yang satu ini. Untungnya kami dapat giliran terakhir, kelas sudah nyaris kosong menyiskan Michelle dan Walter yang meributkan sesuatu dalam bahasa portugal.

"Kenapa tidak kalian berdua saja yang jadi pemerannya? Bukankah kalian dulu pernah jadi Hansel dan Gretel di teater natal waktu sekolah dasar?"

"Anda menonton kami?" Aku kalah cepat dari Kirk yang sudah menyatakan keterkejutannya lebih dulu. Kami saling bertatapan di sesaat sebelum Mr. Finn menjawab, "tentu saja. Aku suka menonton anak-anak. Lagi pula kalian sendiri yang menulis naskah ini, kan? Kalian lebih hapal isinya daripada orang lain yang mungkin saja tak akan bisa memahami isi dan makna ekspresinya tepat waktu."

Moonlight And RosesWhere stories live. Discover now