6. Marah dan Madu

9 5 6
                                    

KIRK

Aku dan Lori bukan dua orang yang sekadar kenal. Kami sudah lama tahu satu sama lain, bahkan lebih dari sekadar teman sekelas. Aku tahu semua yang dia suka dan yang tak dia sukai. Tetapi itu dulu sekali, jauh sebelum aku sendiri yang memutuskan hubungan kami. Meski sudah lama tidak bertegur sapa, Lori tetap anak baik yang polos. Aku masih ingat saat dia meminjamkan roknya pada Doria yang sedang datang bulan sementara ia memakai celana tipis yang kebetulam ada di lokernya. Dia baru pulang saat sekolah sudah sepi agar tak menjadi pusat perhatian.

Kadang-kadang aku terlihat seperti penguntit, tetapi aku tak benar-benar jadi penguntit. Lori selalu muncul di hadapanku, sampai-sampai aku dapat dengan percaya diri menyebutnya terlalu sering. Puncaknya adalah ketika kami menjadi teman satu kelompok di kelas seni film. Itu pertama kalinya kami berbicara lagi setelah perilaku burukku yang meninggalkannya karena alasan konyol.

Saat itu kami masih sama-sama kelas 6, aku sekolah di SMP yayasan keluargaku sendiri dan Lori masih di yayasan Scott. Suatu hari dia memgundang teman-temannya untuk bermain. Orang-orang yang tak pernah kukenal sebelumnya. Aku agak merasa marah meski Lori juga mengundangku.

"Lori, apa kau tahu kalau kau sangat cantik?"

Itu mungkin pertama kalinya aku benci ada orang yang memuji Lori. Anak laki-laki berambut pirang yang duduk di sebelahnya menggerakkan bidak monopoli setelah melempar dadu dan mendapat angka sempurna, 12 titik. Lori kelihatan terpukau dan aku benci wajah antusiasnya itu.

"Menurutmu aku cantik?" Si pirang itu mengangguk sambil tersenyum lebar. Lori kelihatan sangat senang, dia tersenyum lebih lebar. Bahkan ia tak pernah menunjukkan ekspresi seindah itu padaku. "Terima kasih, Jarred. Omong-omong, kau juga tampan."

Aku mengembuskan napas keras-keras, tetapi suaranya segera teredam berkat ucapan lancang salah satu teman Lori lainnya; "kalian berdua cocok, kalau kalian menikah pasti anaknya akan jadi sangat tampan!"

Cukup, aku tak tahan. Aku segera mengirim pesan pada Liam dan memaksanya pura-pura meneleponku agar segera pulang. Aku sudah muak di sini. Di tengah-tengah teman Lori, semuanya sangat asing dan menjengkelkan terutama yang namanya Jarred itu. Liam juga lebih menjengkelkan lagi, dia masih menggantung permintaanku dan tak segera meneleponku. Seolah sengaja membiarkanku menderita di sini.

"Jarred, coba kau cium Lori."

Sial, bahkan ibunya tak mengijinkan Lori pacaran atau pun ciuman dengan siapa pun. "Ah, maaf. Ibuku bilang aku tak boleh berciuman sebelum aku diterima di McKinsey." Untungnya Lori masih selalu taat menjaga batasan dari orangtuanya.

Lagi pula apa bagusnya si Jarred itu? Cuma tipikal cowok populer pada umumnya. Tak ada bakat yang begitu menonjol. Dia ikut turnamen basket dan kalah, bahkan gerakan taekwondonya asal-asalan. Aku bisa lebih baik dari itu. Lori seharusnya sadar dan membuka matanya lebar-lebar sebelum cowok pasaran itu memperdayanya.

"Ah, keluargamu kolot sekali ya."

Lori selalu punya jawaban yang memuaskan kala ucapan semacam itu dilontarkan padanya. "Bukan kolot, tetapi kata ibu ini cara menghormati diriku sendiri."

Liam akhirnya menelepon. Tetapi di seberang sana dia kelihatan sedang panik, suaranya bergetar dan lantang. "Cepat pulang! Papa bisa marah besar!"

Aku berpamitan, tetapi sepertinya tak ada yang peduli kecuali Lori. Aku pulang dengan tergesa-gesa hanya untuk mendapati Liam sedang duduk di kursi minibar sambil tertawa kencang begitu melihatku pulang. "Aktingku tak kalah keren dari pertunjukan teatermu, kan?"

Ah, sial. Lagi-lagi dia memainkan lelucon bodohnya itu. Aku sudah hampir menangis, takut ada lagi yang dipukuli Benjamin hari ini. Aku sangat kesal dan memukuli dada Liam sebagai balasannya.

Moonlight And RosesWhere stories live. Discover now