2. Bunga dan Iblis

32 12 13
                                    

KIRK

Sudah kuduga, kabar itu akan sangat cepat sampai pada Benjamin. Siapa pun pelakunya, kuharap dia tidak bisa kencing selama satu minggu. Aku tahu Benjamin tidak akan mengampuniku kali ini. Sudah ketiga kalinya dia mendengar kabar aku terlibat kerusuhan dengan kelompok tunawisma di Skid Row, dan kali ini aku sampai berdarah-darah. Meski tak ada bukti aku terlibat perkelahian, foto diriku yang berlumuran darah sudah tersebar di internet, sekaligus menyeret nama Benjamin. Itu skandal yang cukup untuk membuat lawan politiknya tertawa kegirangan.

Benjamin melempar cambuk di tangannya ke lantai, dia duduk di kursi dan memandangiku dari atas. Aku meringis saat menggerakkan punggungnku, rasanya cukup perih dan panas. Liam geleng-geleng melihatku kesakitan.

“Aku membesarkanmu untuk menjadi manusia yang beradab, bukan bajingan yang menodai reputasiku.” Benjamin mengurut keningnya pelan, dia kelihatan sangat kesal. Aku juga tak ada niatan membela diri, dia tak akan percaya padaku.

“Kau sudah besar kan, Kirk? Kau pasti tahu di mana letak kesalahanmu.”

“Ya.”

Liam selalu ikut campur, dia kakak sulung tapi tak pernah bertindak seperti kakak sulung. Kerjaannya hanya memanas-manasi kepala Benjamin yang sudah mendidih. Dia mengambil kembali ponselnya yang tadi  ditaruh di meja untuk mengadukan skandalku, aku tsk tak akan lupa saat bibirnya mengulas senyum puas.

“Jawab dengan benar, Kirk!” Tuh, kan. Benjamin selalu terpancing memarahiku kalau ada Liam di sini.

“Ya, Papa aku mengerti. Aku tidak akan mengulanginya lagi.”

Kadang-kadang aku meragukan keputusan Benjamin mencalonkan diri sebagai wali kota, aku tak yakin orang-orang di Los Angeles memilihnya, selain kaya dia juga suka memainkan isu posisi orang hispanik di LA untuk menarik simpatisan pemilih. Tapi itu tidak penting bagiku sekarang, toh bukan aku yang akan menjalaninya. Dosa pemimpin akan ditanggung pemimpin itu sendiri, kalau surga dan neraka memang ada aku tak akan mau ikut terseret hanya karena aku anak politikus.

“Mulai besok kau tidak boleh keluar rumah tanpa penjagaan. Kau akan diantar jemput oleh Hugo.”

Sial! Hugo adalah salah satu ajudan yang sangat loyal dan taat pada Benjamin, aku yakin dia akan mengerjakan tugasnya mengawasiku dengan sungguh-sungguh. Aku tak akan bisa lagi bebas bermain. Sebenarnya aku lebih tak habis pikir dengan simpatisan politikus yang sangat loyal dan mengabdikan diri untuk keluarga orang yang mereka dewakan. Mereka tak akan dapat apa-apa kalau si Benjamin mulut besar itu kalah.

“Papa, kau tak perlu berlebihan-“

Benjamin mengangkat tanganya dan menyelaku, “ini sudah yang ketiga kalinya aku mendapat laporan tentang kelakuanmu. Aku tak mau ada skandal lagi, setidaknya sampai pemungutan suara selesai.” Titahnya sudah bulat, dia langsung berdiri dan meninggalkan ruang keluarga, diikuti Liam di belakangnya. Harusnya ini jadwal mereka mengunjungi Skid Row dan menampilkan atraksi keluarga bahagia menyapa rakyat Los Angeles, tetapi aku sudah mengacaukannya.

Samar-samar aku mendengar suara ibuku yang mengantar kepergian Benjamin dan Liam di teras, dia menanyakan tujuan mereka hari ini.

“Tidak jadi, kami akan melakukan pertemuan dengan anggota koalisi dulu untuk membereskan masalah yang dilakukan anak itu.”

Benjamin bahkan tak mau menyebut namaku. Well, aku tidak peduli, aku juga tak terlalu menganggapnya sebagai ayahku.

Ibu juga langsung masuk lagi tanpa melihatku, dia sibuk mengejar adikku yang tidak mau makan. Semua orang di rumah ini sepertinya sangat sibuk kecuali aku. Ibu sibuk dengan adikku dan Benjamin lebih peduli bagaimana menyiapkan Liam memasuki dunia politik untuk meneruskan jejaknya. Tidak ada yang peduli denganku, setidaknya itu yang bisa kusimpulkan. Aku juga tidak masalah, lebih baik seperti ini. Aku lebih bebas saat tidak ada yang memperhatikanku di rumah sebesar ini, tetapi sepertinya mulai sekarang aku harus mulai berlatih mengendap-endap.

Moonlight And RosesΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα