12. Bara dan Garam

6 3 5
                                    

KIRK

"Ayolah, kau tak mau menjalankan proyekmu?"

Liam sudah berdiri di depan kamarku saat aku membuka pintu. Aku sudah memperingatkannya soal jangan ikut campur dengan urusanku. Tetapi ia sepertinya tak peduli. Bagi Liam, melihatku sengsara adalah sesuatu yang menyenangkan. Dia sekarang punya akses sepenuhnya membuatku nelangsa.

"Asal tak ada kau, sih," jawabku sebal sebelum menenandang tulang keringnya dan berjalan menuruni tangga dengan cepat, ini hari sabtu dan aku harus ke sekolah sebentar untuk urusan ekstrakurikuler Muai Thai yang baru saja dibentuk oleh guru olahragaku beberapa minggu lalu.

Sesungguhnya aku tak terlalu tertarik dengan itu, lagi pula aku sudah lama tak melatihnya tetapi mereka tetap ingin aku datang, setidaknya untuk memenuhi kuorum.

"Lalu, kau mau meninggalkan Lori begitu saja dengan proyek ini?"

"Jangan bawa-bawa namanya untuk menghasutku," jawabku cepat. Aku mengoleskan selai pada roti lebih cepat dari biasanya, tak mau berlama-lama di rumah bersama si bajingan ini.

Liam tersenyum semakin lebar. "Yang benar saja, kau sudah mundur dari olimpiade dan menarik berkas matematikamu hanya untuk fokus pada proyek bersama dia lalu tiba-tiba seperti ini?!" Aku terkejut karena nadanya mulai meninggi dan agak membentakku.

"Baiklah, kau mungkin tak suka kalau aku membantumu soal naskah itu. Terserah kau saja," katanya dengan agak lebih tenang. Aku masih menunggu seraya menunda mengunyah roti lapisku. "Tetapi aku tahu kalian sedang krisis pemeran, kan? Aku bersedia tanpa kau bayar seperti anak-anak teater kenalanmu itu."

Aku mendelik, bagaimana ia mengetahuinya? Lori lagi?

"Tenang saja, bukan Lori yang memberi tahuku, dia tak benar-benar seterbuka itu," katanya seolah aku tahu sudah berniat menuduh Lori. "Aku tahu karena aku juga sering menonton ke Teater itu bersama cewek incaranku."

Aku mengangguk. "Lalu?"

"Kau tak akan punya banyak waktu kalau terus pilih-pilih, Neil bilang kalian akan menguji dulu sebelum aku benar-benar akan diizinkan bergabung. Kapan kita akan melakukannya?"

Ternyata Kirk sudah mencaritahu lebih banyak daripada yang kukira, dia benar-benar saudara yang menyebalkan, sungguh. Sangat suka ikut campur hidupku seolah hidupnya tak punya masalah yang harus diselesaikan.

"Memangnya apa motivasimu sangat ingin bergabung?" Tanyaku sangsi. "Kau tak berniat melakukan sesuatu yang merugikanku, kan?"

Liam menatapku horor. "Kau kenapa sih selalu berburuk sangka padaku?"

Ya siapa yang tidak akan berburuk sangka kalau punya saudara semacam Liam? Saudara yang pernah melaporkan diriku pada Benjamin sampai aku dihajar habis-habisan. Dia pikir bagaimana aku bakal percaya padanya setelah semua dia lakukan padaku?

"Kau sama saja dengan Benjamin. Apa maumu? Katakan saja niatmu yang seumgguhnya." Hardikku padanya, aku lebih suka berlama-lama di sekolah daripada harus meladeni orang ini seharian.

Liam menyeringai jelek. "Ya, tak ada gunanya berbohong padamu," katanya mengonfirmasi dugaanku. "Aku butuh tambahan proyek untuk melengkapi CV-ku. Akan lebih baik lagi kalau filmnya bertema politik dan hukum. Itu akan linear dengan pengalaman yang kubutuhlan, tetapi kalau kau tak mau juga tak apa-apa. Itu tetap bisa masuk ke dalam CV-ku."

Sudah kuduga. Dia pasti kekurangan poin tambahan kegiatan non-akademik, salahnya sendiri terlalu sering ikut Benjamin kampanye. "Kau seharusnya bisa mengisi itu lebih cepat seandainya kau tak ikut kampanye."

Liam malah terkekeh mengejek. "Lalu siapa lagi yang akan menggantikanku jadi mainan Benjamin? Kau?"

Aku memutuskan untuk menyetujui tawaran Liam dan membiarkannya bergabung dalam tim kami

Hoppsan! Denna bild följer inte våra riktliner för innehåll. Försök att ta bort den eller ladda upp en annan bild för att fortsätta.

Aku memutuskan untuk menyetujui tawaran Liam dan membiarkannya bergabung dalam tim kami. Tetapi aku belum menghubungi Lori hampir seminggu. Dia setengah tak percaya ketika aku meneleponnya. Apa dia benar-benar sangat menantikan kerjasama ini dengan Liam? Entah mengapa aku merasa kesal membayangkannya.

Kami akhirnya bertemu di sekolah dan mengetes kemampuan Liam, bersama Neil tentunya. Aku tak tahu kenapa dia akhir-akhir ini sepertinya lebih sering mengekori Lori seperti anak ayam. Lori bilang tak ada orang di rumah kecuali para maid, ayah mereka sudah lama tinggal di kantor dan ibu mereka masih di Jepang. Sepertinya kehancuran keluarga Lori benar-benar sudah di depan mata. Aku merasa tak enak sudah membuat kondisinya mungkin lebih buruk.

"Hei, kau tak pernah ambil kelas teater ya?" Neil mengomentari adegan sedih yang sedang ditampilkan Liam. Sepertinya dia ingin membalas dendam parkara dikritik habis-habisan oleh aku dan Lori beberapa hari yang lalu.

Liam menoleh dengan kesal. "Lalu bagaimana? Kau mau memberi contoh?"

Aku tak menduga Neil yang biasanya malas bergerak dan hanya menatap komputer seharian malah benar-benar mau naik ke panggung dan memperagakan apa yang kucontohkan padanya minggu lalu.

Liam menghela napas, mungkin agak jengkel karena ada anak kecil yang terlihat lebih baik darinya dalam berakting. "Baiklah, kau lihat ekspresiku baik-baik ya." Liam mulai melakukan apa yang disuruh Neil dengan baik, meski emosi sedihnya masih belum terasa di mataku.

Sementara itu aku dan Lori duduk di deretan kursi merah yang menghadap ke podium, dipisahkan jarak satu kursi. Tak ada yang berbicara, baik aku maupun dia sama-sama merasa canggung akibat pertengkaran kami beberapa hari lalu ketika ia berusaha meyakinkanku untuk menerima Liam dalam proyeknya.

"Jadi, kenapa kau tiba-tiba setuju menerima kakakmu itu?" Tanyanya tiba-tiba.

Aku menoleh sebentar sebelum menjawab, memastikan eskpresinya masih tetap datar. "Aku kasihan padanya, dia butuh poin keaktifan kegiatan non akademik."

Lori mengangguk. "Jadi begitu," timpalnya. "Lalu bagaimana dengan naskah kita? Kapan kita akan menyusun ulang?"

Nada tanyanya seperti sudah pasrah. Entah berapa lama ia menantikan untuk bicara padaku, aku merasa tidak enak sudah membuatnya nyaris benar-benar putus asa dengan proyek kami. "Malam ini? Aku masih ada kegiatan bersama klub Muai Thai siang nanti."

Ia mengangguk paham dan tersenyum tipis. "Baiklah, kalau begitu kita akan menyusunnya nanti malam. Di kafe biasanya, kan?"

"Boleh kalau kau tak keberatan," jawabku mengiyakan. "Atau kalau kau bosan kau bisa mengusulkan tempat lain."

"Bagaimana kalau di rumahku saja?"

Aku menoleh terkejut. Aku baru ingat kalau aku bahkan tak pernah ke lagi ke rumah Lori sejak pertengkaran terakhir kami sewaktu SMP dan aku sangat menyesal karena tak bisa lagi mendapat jatah pancake mingguan yang selalu dibuat ibunya Lori untukku.

"Aku membuat pancake."

Aku mengerjap lebih terkejut lagi. Lori pasti tahu betul aku sangat merindukan keramahan keluarganya di saat keluargaku sendiri tak terlalu menganggap keberadaanku. Tetapi masalahnya kondisi keluarga Lori saat ini tak seperti dulu, aku merasa mungkin aku yang seharusnya memberi keramahan padanya sekarang.

"Baiklah. Boleh, aku akan bawakan madu dan sirup buatan nenekku."

Itu adalah dua hal yang melengkapi pancake ibu Lori di masa kecil kami, aku membawanya karena aku selalu merasa tak enak mendapat jatah makan gratis di rumah Lori—salahkan keluargaku yang tak terlalu peduli padaku.

"Nenekmu masih suka membuatnya?"

Aku mengangguk. "Kita bisa ke rumahnya besok kalau kau tak sibuk."

Tunggu, tunggu, tadi aku bilang apa?!

Sepertinya aku terlampau senang akhirnya bisa mengunjungi rumah Lori lagi setelah sekian lama sampai-sampai berniat mengajaknya ke rumah nenekku. Aku sangat merutuki ucapanku, jalan ke rumah nenekku sangat buruk dan susah dilalui, seingatku dia dulu sempat terbentur kaca mobil Benjamin. Bagaimana kalau dia menolak? Aku bakal mengubur diriku saja. Ini agak memalukan.

"Boleh, aku tak ada kegiatan besok."

"

Hoppsan! Denna bild följer inte våra riktliner för innehåll. Försök att ta bort den eller ladda upp en annan bild för att fortsätta.
Moonlight And RosesDär berättelser lever. Upptäck nu