4. Darah dan Dosa

16 8 8
                                    

KIRK

Aku tidak suka pesta orang dewasa. Obrolan mereka sangat membosankan, hanya seputar basa-basi investasi, politik, gosip panas kalangan atas, atau sekadar membicarakan prestasi anak-anaknya. Beberapa jam yang lalu, halaman belakang ini masih rumput hijau dan bunga-bunga mawar kepunyaan mama. Benjamin, entah bagaimana dia tiba-tiba menyuruh para pelayan dan membawa beberapa tenaga dari luar untuk segera mengubahnya menjadi set garden party. Dan entah bagaimana tiba-tiba halaman belakang rumahku sudah sangat ramai dengan tamu Benjamin, orang-orang berpakaian rapi dan berhias aksesori mahal. Ah, gara-gara itu aku juga dipaksa berpakain serapi dan serupa mereka.

"Kau tidak gabung, jagoan?"

Aku menoleh dan mendapati Liam berjalan menuruni anak tangga, menghindar dengan hati-hati saat melewatiku yang duduk di anak tangga ketiga dari bawah seolah sedang menghindari kotoran anjing. "Aku tak suka perkumpulan orang dewasa."

"Oh, benarkah? Bagaimana kalau menonton film dewasa, kau suka?" Liam mengerlingkan mata saat menanyakannya. Mahluk hidup satu ini benar-benar sialan, seandainya aku tak punya cukup kesabaran sudah pasti botol bir di tangannya kubenturkan pada tengkorak tak berisi itu.

"Bukankah itu kelakuanmu saat mengisi waktu luang menunggu Benjamin selesai berpidato?"

Liam tertawa garing. Dia tiba-tiba mendekat dan menempelkan ujung bawah botol birnya ke kepalaku. Kepalanya bergerak terlalu dekat ke atas jidatku sampai-sampai aku bisa mencium bau napasnya yang seperti habis makan kaus kaki busuk. "Jangan bicaramu, anak bermasalah. Ada wartawan di sini."

Aku lantas mencengkeram wajah Liam dan mendorongnya jauh dariku. Aku takut muntah kalau tak segera melakukannya. "Kau yang mulai duluan."

"Tetapi Benjamin tak akan percaya padamu." Liam membuka botol birnya dan tersenyum sangat lebar—nyaris seperti badut jahat—sebelun pergi ke taman dan seraya meneguk birnya perlahan.

Sepertinya menghela napas sudah jadi rutinitasku akhir-akhir ini. Sudah terhitung aku melakukannya lebih dari lima puluh kali—kalau aku tidak salah hitung. Ini acara politiknya Benjamin, memutuskan untuk tidak bergabung adalah keputusan terbaik sebab aku tak mau lagi masuk berita dengan headline penuh keajaiban.

Aku masih tak habis pikir, bagaimana Benjamin bisa tiba-tiba ingin mencalonkan diri menjadi wali kota. Padahal sebelumnya dia adalah oposisi senior yang sangat kontra dengan kebijakan-kebijakan pemerintah. Rasanya dunia seperti sedang terbalik, atau dia hanya menunjukkan warnanya yang terlambat muncul menjelang usia produktifnya lewat.

Awalnya, aku berniat pergi dan kembali ke kamar. Hanya saja pancaran rambut pirang panjang dari seorang gadis yang ada di meja paling ujung membuatku malah melangkah dan menceburkan diri ke dalam pergaulan Benjamin. Lori tak sendiri, ada ayahnya yang sedang membicarakan proyek hunian idealis dengan beberapa orang di ujung lainnya, sementara gadis itu sendirian sambil memainkan ponselnya sesekali. Aturan nomor satu dari pergaulan kelas atas yang selalu diajarkan Benjamin padaku adalah jangan sering-sering membuka ponselmu. Aku segera menghampiri Lori dan menutupinya—dari pandangan Benjamin di sudut yang sama dengan ayah Lori. Kalau dia lihat Lori tak berkelakuan sebaik anak-anak kelas atas lainnya, Benjamin bisa memasukkan ke daftar hitam pertemananku.

"Apa kau tidak bosan sendirian di sini?" Aku agak berbisik, musik yang dilantunkan dalam pesta orang dewasa itu bukan musik seperti di klub atau diskotik. Mereka suka memutar jazz dan itu akan membuat suaraku bakal terdengar jelas jika aku menaikkan sedikit nada bicaraku.

Rupanya Lori juga tahu itu. Dia langsung menyimpan ponselnya di saku gaun. "Kau tak bicara dengan anak lain yang lebih prestatif?"

Aku menggeleng seraya mencicip jus mangga di tanganku. "Mereka membosankan. Liam lebih cocok meladeninya."

Moonlight And RosesWhere stories live. Discover now