16. Hasrat dan Pembalasan

8 1 0
                                    

KIRK

Kalau bisa, aku ingin lari ke Gunung Everest sekarang juga. Lori sangat cantik dan aku tidak kuat melihatnya lama-lama. Aku jadi merasa berdebar dan gugup di dekatnya. Rasanya tidak sia-sia aku berusaha mengajaknya pergi ke prom hari ini setelah mencuri dengar percakapannya dengan Doria tempo hari kalau dia tak akan mau datang. Gelar prom akan diberikan pada pemenang kedua kalau pemenang utama tak datang, dan aku tak mau berdansa dengan Ilesse. Entah kenapa sikapnya pada Lori setelah insiden narkoba itu membuatku kesal.

Tetapi sepertinya Lori lebih kesal padaku karena perilakuku hari ini. Ya siapa yang tidak kesal kalau pasangan promnya malah menari dengan gadis lain. Tapi sungguh aku tak berniat menyakiti hatinya, toh dia mungkin tak menyukaiku balik. Kurasa dia akan baik-baik saja kalau aku melakukan ini. Dia tak mungkin cemburu, kan? Bahkan dia beberapa kali tertawa saat bersam Kella, Elijah, dan Doria.

Namun, saat kami akhirnya berhadapan pasca penobatan raja dan ratu kriminal, aku kembali merasa gugup dan takut saat menatap wajahnya. Aku dapat melihat kilatan luka di sana, seolah dia meminta pertanggungjawabanku akan sesuatu yang telah kuperbuat di depan matanya.

"Apa kabar?" Tanyanya saat kami mulai berdansa.

Aku jadi lemas saat memegang pinggang rampingnya, gaun biru pastel Lori sangat cocok dengan riasan tipisnya. Wajah oriental Lori tak ada duanya di sekolah ini, dia lebih mirip idola korea daripada keturunan asia lainnya. Sekarang aku mengerti kenapa semua orang bisa sangat memuja kecantikannya, kecuali aku yang sudah melihat dia sejak kecil.

"Kurang baik," jawabku jujur.

Dia mengangkat alis dan mengeratkan pegangannya pada pundakku. "Kenapa?"

Aku memaksakan senyumku. "Karena rasanya tersiksa hanya bisa melihatmu dari jauh."

Lori malah tersenyum dan menjauhkan wajahnya dari jangkauanku, harusnya koreografi waltznya tak sejauh ini. Apa dia sedang menggodaku?

"Kalau begitu kenapa tidak langsung bicara saja denganku?" Tanyanya dengan nada tajam. Ah, sepertinya dia benar-benar kesal ya. Mungkin dia merasa kosong saat tak ada orang yang banyak bicara dengannya setelah ditinggalkan teman-teman dan para penggemar. Aku tak masalah jadi samsak rasa kesepiannya asal dia tak menolak kehadiranku.

Aku mendorongnya ke bawah saat gerakan di mana tubuhnya sedikit kayang ke bawah di akhir rangkaian waltz, berusaha sedikit menakutinya. Dia agak mendelik  menyadari tindakanku. "Kau pikir aku punya cukup keberanian mengajak berbicara setelah membuat orang yang kucintai menangis?"

Aku tidak bohong soal itu. Rasa bersalah menghantuiku sepanjang hari setelah melihat Lori menangis saat kami bertengkar. Sebuah pertengkaran terbesar sepanjang sejarah pertemanan kami. Mungkin benar kata orang-orang, pertemanan antara laki-laki dan perempuan akan hancur begitu salah satu di antara mereka mengungkapkan perasaannya. Dan seharusnya aku tak gegabah mengutarakan isi hatiku pada Lori. Dia terlihat gelisah dalam kungkunganku.

Waltz kembali di mulai dan wajahnya masih merah dengan ekspresi yang mengeras. Sepertinya dia marah padaku. Dansa kedua diiringi musik dalam tempo yang lebih pelan orang-orang di sekitar kami yang mulai tenggelam bersama pasangannya masing-masing. Ak cukup menikmati momen ini, saat di mana aku dan Lori akhirnya bisa saling menatap satu sama lain lagi. Sebab belum tentu setelah ini situasi kami masih bisa setenang ini.

"Dasar pecundang."

Dia tiba-tiba menciumku saat aku berniat mengiyakan ejekannya, bahwa aku memang pecundang bahkan dia duluan yang malah menciumku. Bibirnya yang lembut dan terasa manis mendarat cukup lama di sana sebelum aku balas memperdalam ciuman kami. Sial, aku memang bodoh. Bisa-bisanya menyakiti orang yang sangat ingin kurawat dan kulindungi sejak kecil.

Moonlight And RosesWhere stories live. Discover now