10. Tanduk dan Duri

9 3 5
                                    

KIRK

Hari ini aku tak mau berangkat sekolah.

Rasanya kepalaku pening. Banyak sekali masalah yang datang menggangguku akhir-akhir ini, mereka semua seperti meminta jatah makan dari uang sakuku yang tak seberapa itu. Aku mulai bertanya-tanya, haruskah aku menyanggupi tawaran Benjamin untuk pindah saja ke sekolah asrama beberapa waktu lalu? Tidak, tidak. Itu namanya pecundang, melarikan diri dari masalah sama sekali bukan gayaku.

Dokter keluarga kami sudah pergi setelah memeriksaku, Mama juga turun lagi ke bawah usai mengantarkan nampan makanan. Masakan mama sejujurnya selalu enak, tetapi hari ini aku sama sekali tidak berselera makan. Getaran ponsel di nakas membuatku terbangun dengan susah payah, ada panggilan tak terjawab sebanyak lima kali dari Lori serta sederet pesan singkat darinya.

Kau baik-baik saja?
Kirk, maaf aku tidak dapat memulihkan laptopku dan Neil tidak menemukan naskahnya di akun penyimpanan awan kita.
Bisa kita bicara?

Aku menggaruk rambutku dengan gelisah sebelum akhirnya mengembalikan ponselku ke nakas setelah mematikan mode suara dan getaran. Bukannya aku tak mau membicarakan masalah ini, tetapi aku rasa untuk saat ini kami membutuhkan waktu masing-masing untuk berpikir. Terlalu banyak hal yang menggenangi pikiranku saat ini, aku benar-benar tidak bisa memikirkan apa pun dalam kondisiku sekarang.

Niatku kembali tidur setelah makan beberapa suap sup buatan mama, tetapi kegaduhan di bawah benar-benar membuatku tak bisa menutup mata dengan tenang. "Apa lagi sih." Aku menyibak selimut dengan lemas sebelum berjalan pelan ke bawah. Dari tangga teratas aku dapat melihat orang-orang yang selalu mucul di kampanye Benjamin sibuk mondar-mandir seraya berbicara dalam bahasa spanyol setengah inggris dengan logat yang sangat aneh.

"Hei, bukannya kau masih sakit?" Aku menoleh pada Liam yang duduk di minibar yang tersambung dengan dapur, dia sedang bersama Hugo yang sibuk membuat kopi dengan mesin gilingan bijih kopi milik Benjamin. Ada papan hitam putih lengkap dengan bidaknya yang sisa setengah di sana. "Mau ke mana kau?"

Nada bicaranya sama sekali tak menyiratkan citra seorang saudara yang khawatir dengan kondisi adiknya, tetapi dia tetap mengulurkan tangannya untuk memeriksa keningku sebelum akhirnya kutepis dengan kilat. "Apaan, sih? Aku cuma mau memastikan kau setidaknya akan tetap hidup sampai hari pemungutan suara nanti."

Aku mendecak sebal dengan responnya yang sama sekali tidak ada empati, bawa saja gengsimu itu sampai mati. "Setidaknya kau harus lihat muka panik Benjamin di hari itu, pasti sangat menghibur," bisiknya padaku sementara matanya melirik kesana-kemari memastikan tak ada tim kampanye yang mendengar penghinaan tersurat pada junjungan mereka.

"Aku mau kopi juga," kataku pada Hugo yang langsung dibalas delikan tajam Liam.

"Jangan, anak ini sepertinya tak mengabiskan jatah makannya, mukanya masih pucat. Lambungnya bisa hancur kalau kau turuti permintaannya, teh saja." Aku memutar bola mata malas. Sesungguhnya aku dan Liam memang bukan saudara yang seakrab Lori dan Neil, kami cenderung lebih sering bertengkar. Liam suka membuatku naik pitam, menurutnya itu hiburan. Tetapi dia kadang-kadang lebih perhatian daripada Mama atau Benjamin yang punya titel sebagai orangtuaku.

"Terserah," kataku akhirnya. Hugo menggeleng dan terkekeh melihat interaksi kami, aku yakin dia sudah tahu seluk beluk hubungan keluarga kami yang kurang jelas ini.

"Sudah sampai mana permainan catur kalian?"

"Hugo sudah nyaris mendapatkan rajaku," jawab Liam dengan muka kesalnya. "Kau ajak saja Hugo bicara ya, biar aku diam-diam mencuri bidak-bidaknya dia."

Lagi-lagi Hugo tak dapat menahan tawanya. "Tuan Muda Liam, Anda tak akan menang kalau memberitahukan strategi Anda dengan terang-terangan begitu. Justru saya akan menangkap bidak Anda sekarang juga," Hugo segera mengambil gilirannya dan tiba-tiba saja pion-pion Liam yang tersisa sudah tak lagi berguna.

Moonlight And RosesDove le storie prendono vita. Scoprilo ora