22. Gosip dan Pembalasan

1 0 0
                                    

KIRK

Lori memang paling gila dan aku tak menduga dia bisa lebih gila dari semua orang sinting yang pernah kutemui. Gabriele sempat menolak tawaran kami, tetapi Lori meyakinkannya bahwa dia akan diberi honor dan screentimenya tak sebanyak pemeran lain sehingga masih bisa menjaga toko video gimnya.

Kami sudah memutuskan akan menggabungkan konsep dari kedua naskah awal kami. Dan tentu saja butuh lembur kerja dua hari tiga malam demi menyelesaikan naskah yang sudah berfusi dengan elemen-elemen baru. Kali ini bukan lagi romansa tragedi antara seorag jenderal dan kekasihnya saja, melainkan rentetan politik kotor di sela-sela kisah mereka. Dan aku bersyukur bukan aku maupun Lori yang harus memerankan ini, kru kami sudah lengkap.

"Kukira Gale akan canggung bertemu Neil dan Liam," kata Lori saat kami selesai mengambil adegan di hari pertama. Kami sepakat memanggil kakak sulungnya itu dengan Gale karena Gabriele cukup panjang. Lori duduk di sebelahku dan memeriksa lembaran naskah di tangannya, ada beberapa catatan improvisasi.

Aku mengangguk. "Kukira dia akan merasa tidak nyaman dengan Liam, tetapi mereka sekarang sudah berencana pergi ke bar," kataku menatap dua orang yang kami bicarakan asik mengobrol di sofa depan kami. "Jangan sampai Neil terseret pergaulan bebas," lanjutku.

Lori membalik halamannya dengan agak keras. "Oh, ya? Bukanya kau sendiri juga sudah minum vodka di tahun pertama?" Matanya terlihat berbinar, seakan berhasil menangkap basah kelakuanku.

Aku menyeringai. "Dari mana kau tahu itu?"

"Emm, gosip," jawabnya agak ragu.

"Jadi kau juga mencari tahu tentangku?" Aku menaikkan salah satu alis dengan niat menggoda.

Lori memalingkan muka dan kembali sibuk dengan tumpukan kertas di tangannya. Dia kira aku tidak bisa melihat wajahnya yang mulai memerah seperti udang rebus itu? Sangat menggemaskan. Aku merebut paksa kertas di tangannya, Lori refleks berusaha meraihnya dariku, tetapi dia jelas jauh lebih pendek. Aku merasa deja vu dengan situasi ini.

"Hei, kembalikan!"

Aku tak menggerakkan tanganku, justru memojokkannya ke dinding. Sedikit menunduk untuk memberinya intimidasi. "Ayo mengakulah, berapa kali kau mencari tahu tentangku?"

Lagi-lagi wajahnya mulai jadi merah muda dan dia terus-terusan menghindari tatapanku. Lucu sekali. Sepertinya aku mulai ketagihan melihat sisi lain Lori yang seperti ini. "Kenapa kita tidak membicarakan hal lain yang lebih penting saja?"

Aku mendekatkan wajahku padanya, mungkin sekarang jarak bibir kami hanya sejengkal. Lori tidak akan marah kan kalau aku menciumnya sekarang? Dia sudah melakukannya duluan padaku, pembalasan kecil sepertinya terdengar menyenangkan. "Oh ya, seperti apa?" Tanyaku meniru nada bicaranya beberapa saat lalu.

"Seperti kampus tujuanmu. Kau benar-benar mau melepaskan matematika?"

Ah, sial. Kenapa malah membahas ini sih? Aku sudah berusaha melupakannya beberapa hari yang lalu dan tak mau ini jadi sumber masalah lagi di antara kami. "Entahlah, bagaimana menurutmu?"

Lori menukikkan alisnya hingga tampak hampir menyatu. "Kenapa kau tiba-tiba mau mendaftar ke jurusan perfilman?"

Aku menengadah, mencoba mencoba menghindari matanya beberapa saat sebelum kembali menunduk. "Entahah ya. Menurutmu kenapa?"

Dia menghela napas, membasahi bibirnya sebentar. Seperti sedaang menyiapkan sebuah kalimat yang bakal menggemparkan.

"Kau mau mengikutiku?"

Aku terkekeh dan mengangguk. "Kenapa? Bukankah kau sangat mencintai matematika?"

Aku mengangguk lagi dan meneguk ludahku. Ah, benar juga. Kenapa aku jadi seperti orang gila yang terobsesi pada Lori begini? Rasanya agak memalukan. "Aku lebih mencintaimu daripada matematika," jawabku akhirnya.

Moonlight And RosesWhere stories live. Discover now