18. Gabriele dan Asano

1 0 0
                                    

KIRK

Seingatku, hubungan kami sudah membaik. Dan kali ini akan kupastikan tak akan ada kesalahpahaman yang mengakibatkan pertengkaran besar lagi. Masalahnya, walaupun cuaca Los Angeles hari ini sangat cerah, wajah Lori malah kelihatan sangat suram. Dia kelihatan gelisah sepanjang hari dan tak banyak bicara. Kukira dia sedang bertengkar dengan Neil karena bocah itu menitipkan roti lapis padaku untuk saudarinya sebelum jam makan siang. Lori tak merasa terganggu dengan roti lapis itu, mestinya dia sudah membuangnya kalau mereka memang bertengkar.

"Ada apa?" Aku memutuskan untuk bertanya lebih dulu, lama-lama aku juga khawatir kalau melihatnya terus begini.

Dia mengerjap dan mengunyah rotinya agak terburu. Aku menghentikan tangannya yang mendorong roti itu masuk ke mulut agar dia berhenti. "Kau bisa tersedak nanti."

Lori menyerah dan menyenderkan punggungnya ke sandaran kursi. Dia sepertinya enggan menatapku dan memalingkan muka. Aku mencondongkan kepalaku dan meraih dagunya, memaksa ia menghadap padaku. Ada kilat kekecewaan di matanya. Terlihat sangat dalam. Dia terdiam cukup lama sebelum menepis tanganku.

"Masalah keluarga," jawabnya singkat.

Aku mengangguk paham. Ini bukan saat yang tepat menyuruhnya bicara atau semacamnya. Dan aku masih cukup sopan untuk tak bertanya mengenai kondisi keluarganya yang sangat kritis untuk saat ini. Bangku-bangku di taman sekolah tak terlalu ramai menjelang jam makan siang berakhir.

"Baiklah," sahutku. "Kau bisa menceritakannya padaku lain kali. Aku akan mendengarkanmu."

Dia mengangguk lesu. "Sebenarnya bukan soal perceraian orangtuaku," katanya. "Aku bahkan sudah tak peduli lagi dengan mereka." Lori mengacak poninya frustrasi sebelum menyerahkan ponselnya padaku. Dia membuka laman email dan tampak surel dengan nama yang kukenali akhir-akhir ini mengirimkan sesuatu pada Lori.

"Gabriele ... Asano?" Aku menatapnya tak percaya, Lori juga balas menatapku bingung sementara jemarinya mulai digigit dengan agresif. Aku mendecak sebelah sebelum menarik jarinya menjauh dari bibir.

"Lebih anehnya lagi Neil mengenal dia." Pantas saja dia tak banyak bicara dengan Neil, bisa jadi dia kesal. "Tetapi dia bilang dia tak bisa menjelaskannya. Sialnya dia menyuruhku mencari tahu sendiri."

Aku mengetik balasan untuk surel dari Gabriele tanpa permisi, maaf ya, Lori. "Kau mau bertemu dengannya?"

Lori berpikir sebentar sebelum akhirnya mengangguk. Bersamaan dengan jawaban cepat dari Gabriele atas pesanku barusan yang berisi alamatnya. Aku menunjukkannya pada Lori, dia tampak kesal gara-gara tindakanku yang, well, agak lancang. "Kita tidak ada kelas setelah ini. Ayo temui dia sekarang."

Lori tak sempat marah sebab aku sudah menarik tangannya untuk meninggalkan area sekolah. Kami menunggu bus ke pusat kota di halte. Aku memanfaatkan waktu singkat itu untuk mengganti seragamku dengan kaus putih. Cuaca sudah mulai gerah meski musim panas baru datang. Aku baru menyadari Lori memalingkan muka saat aku mengganti pakaian.

"Kau kenapa sih?"

"Kau ... tak tahu malu ya. Harusnya kau ganti baju saat masih di sekolah tadi," katanya kesal.

Aku bingung dengan reaksinya. Apakah dia malu melihatku ganti baju? "Bahkan waktu kecil kami pernah mandi bersama."

Selanjutnya dia malah meninju perutku. "Kita sudah besar tahu."

"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Moonlight And RosesWhere stories live. Discover now