19. Rusuk dan Tusuk

1 0 0
                                    

LORI

"Ah, bukan aku. Aku hanya melakukan perintah seseorang."

Aku semakin terkejut mendengar penjelasan Gabriele. Setelah tahu dia ternyata kakakku, aku lebih terkejut lagi dia memang membeli morfin dengan berat yang sama yang ditemukan di dalam tasku. Pegangan tangan Kirk tak lagi melembut, ia sedikit mengeratkan cengkeraman di telapak tanganku. Aku bisa merasakan ada kemarahan terpancar darinya.

Kami saling bertatapan sesaat, bertukar pikiran dalam diam meski aku tahu apa yang ingin kusampaikan mungkin tak akan didengarnya. Kirk mengambil alih pembicaraan ini, dia tahu aku sudah sangat terbebani dan benar-benar ingin keluar dari sini sekarang juga. Di sini rasanya terlalu sesak. Seakan semua udara mendadak hilang dihirup orang-orang tanpa menyisakannya untukku. Mengetahui kakak kandungku mungkin terlibat dalam upaya seseorang yang menjebakku itu mengerikan. Aku ingin keluar dari sini sekarang juga.

"Siapa yang memerintahkanmu?"

Gabriele mengendikkan bahu. "Kau tak berpikir aku akan memberitahukannya semudah itu, kan?" Sudah kuduga, sekalipun kami bersaudara, dia tak akan mendadak berbaik hati padaku.

"Apa kesepakatan yang kalian buat?"

Gabriele menggaruk tengkuknya, seakan memilih apa yang sebaiknya ia katakan. "Kau tahu kan biaya tes DNA itu lumayan mahal?" Kami kompak mengangguk. "Aku tak bisa menunggu lebih lama lagi, dia menawariku uang untuk biaya itu asal aku bersedia membelikan morfin sebanyak lima gram atas nama diriku sendiri."

"Atas nama diri sendiri?" Aku mencoba memastikan.

Sekali lagi Gabriele mengangguk. "Yep, dalam pembelian barang-barang semacam itu kadang-kadang kau harus menggunakan nama samaran atau setidaknya semacam nama kode," jelasnya. Gabriele terlihat agak gelisah, aku paham perasaannya. Kelihatan sangat buruk kan bertemu adikmu saat kau melakukan sesuatu yang menyimpang? "Dan hari itu aku terpaksa menyebutkan namaku."

Aku masih tak banyak bereaksi sementara Kirk mencondongkan badannya ke depan. "Sudah berapa lama kau membeli benda semacam itu?"

Gabriele meregangkan badannya dengan penuh, seakan dia sangat lelah. "Hmm, kapan ya tepatnya ... sepertinya sejak mencurigai gerak-gerik Nyonya Asano aku jadi tidak tenang dan butuh sesuatu untuk meredakan perasaan tidak nyamannya itu."

Mataku saat ini mungkin sudah selebar kelereng sebab aku mendelik lebih lebar daripada biasanya. Kirk mengembuskan napas berat, sepertinya dia juga mulai terbebani mendengar cerita Gabriele. Sementara jemarinya masi setia meremas telapak tangaku di atas kursi.

"Apa kau ingat seperti apa orang yang menyuruhmu itu?" Tanyaku memecah ketegangan di antara mereka.

Gabriele menggeleng ragu. "Sejujurnya aku juga kurang ingat, tetapi rambutnya punya rona pirang yang sangat indah."

Kirik tersentak sebelum meraih helaian rambutku dan menunjukkannya pada Gabriele. "Seperti ini?"

Di luar dugaanku, Gabriele malah menggeleng. "Lebih pirang dari dia seolah tak pernah dijemur matahari."

Aku menepis tangan Kirk agar melepaskan rambutku. Entah bagaimana aku dengan prasangka yang menggebu-gebu menunjukkan sesuatu dari ponselku. "Apakah dia?"

Gabriele menjentikkan jarinya dengan wajah tersenyum seakan senang menemukan sesuatu yang menarik. "Itu dia."

Jemariku gemetaran menurunkan ponsel. Lagi-lagi Ilesse. Aku tak mengerti kenapa seakan akhir-akhir ini banyak hal yang mengarahkanku menemukan bahwa semua yang menyeretku disebabkan Ilesse.

"Tapi." Aku masih mendengarkan Gabriele yang sepertinya masih punya babak baru dalam bercerita. "Dia tidak sendiri, ada seorang pria tua menunggunya di dalam mobil SUV hitam."

Aku benci jika apa yang kupikirkan itu mungkin saja benar.

"Kau ingat wajahnya?" Tanya Kirk mewakiliku, sepertinya dia sadar jariku mulai berkeringat.

"Dia agak mirip dengan suami Nyonya Asano saat ini."

***

Sebenarnya aku tak mau pulang, tetapi Kirk terus mendorong untuk pulang saja. Dia bilang mungkin semuanya bakal lebih jelas jika aku bertanya pada Mom. Kubilang aku tak mau sebab Mom masih sibuk di rumah sakit, Dad entah di mana, dan Neil mengurung diri di kamar seharian.

Hahaha.

Keluargaku rasanya benar-benar sangat indah dan hangat sampai-sampai darahku terasa mulai mendidih melihat mereka seperti ini. Aku tak tahu apa yang sebenarnya mereka rasakan dan mengapa pada akhirnya semua berlagak seolah mereka sangat asing dan tak tinggal bersama. Aku jadi iri dengan keluarga Kirk yang bahkan bisa tetap bertahan hingga hari ini. Kukira keluarga dia cukup aneh karena terus-terusan banyak masalah tetapi tak pernah menanpilkan tanda-tanda bakal hancur, seolah memang dibangun dengan sekuat itu. Ah, kau tahu lah keluarga politikus atau pebisnis kadang-kadang hanya mesra di hadapan wartawan. Dengan begitu dapat memotivasi rakyat membangun rumah tangga yang sehat—itulah yang selalu dia katakan padaku tiap kali kami membahas keluarganya.

"Kau yakin tak mau pulang saja sekarang?"

Aku menggeleng dan tetap berjalan di jalan setapak taman pimggir kota. "Harusnya aku yang tanya padamu," kataku yang langsung membuatnya diam. "Kau daritadi menggerutu mau pulang, apa Hugo masih mengawasimu?"

Kirk menggeleng. "Tanah yang kau injak sekarang ini justru sedang dipimpin si Hugo," katanya sambil menunjuk tanah di kakinya. "Benjamin melantiknya jadi Dewan Kota sesuai rencana mereka sebelumnya."

Aku mengangguk paham dan meremas ujung rokku. Entah mengapa sepertinya punya banya bodyguard seperti Kirk saat ini mungkin bakal seru. Setidaknya masih ada yang mau bicara denganku daripada sekadar tembok dan cermin.

"Mungkin dia cukup berbakat memimpin sebab kau bahkan sampai sangat tunduk padanya saat masa kampanye ayahmu," pujiku pada Hugo yang malah membuat Kirk kelihatan kesal.

Dia kenapa ya? Awalnya aku ingin bertanya soal kekesalannya, tetapi kuurungkan sebab aku ingat kalau dia menyukaiku dan anak laki-laki tak suka orang yang mereka incar menyebut lelaki lain. "Tetapi kau lebih hebat dari dia, sih. Kau jago matematika." Semoga ini berhasil.

Kirk tak banyak bereaksi, hanya terdiam sebentar sebelum mengajakku segera masuk ke bus. Ya aku tahu tujuan kami jelas rumah dan Kirk agak memaksaku untuk segera pulang.

"Kenapa kau memaksakanku pulang, sih?" Tanyaku jengkel.

Kirk mengehela napas. "Neil khawatir, kau berangkat setelah berdebat kecil dengannya tadi."

Aku mengerjap. "Ada lagi?"

Kirk diam cukup lama, seperti sedang menyiapkan jawaban untukku. "Proyek kita bagaimana? Kita harus segera melanjutkannya." Aku menepuk jidatku kesal. Bisa-bisanya aku lupa, semua keterlibatan kali ini disebabkan oleh satu tugas besar sialan itu.

"Kita segera mulai syuting minggu depan," kataku.

Kirk menganga lebar. "Yang benar saja, pakai naskah yang mana?"

Aku baru ingat kalau kami punya dua naskah sekarang. Gabriele bilang, Ilesse juga yang menyuruhnya meretas akun kami dan menghapus data-data di sana. Aku tak menyangka, orang yang kukira sangat baik padaku ternyata bisa menusukku sejauh ini. Kirk benar, aku tak perlu terlalu berbaik hati pada semua orang.

"Bagaimana kalau kita menggabungkan kedua naskahnya saja?"

Moonlight And RosesWhere stories live. Discover now