5. Miasma dan Tawa

19 8 10
                                    

LORI

"Hei, anak calon wali kota itu sedang apa di sini?"

"Kau disuruh ayahmu kampanye ya?"

Kirk berjalan mundur dengan gelisah sambil mengangkat tangannya seolah dia penjahat yang ditangkap polisi. Aku tahu maksud dia untuk meminta mereka tetap tenang, tetapi gesturnya terlalu natural seperti sudah sangat sering angkat tangan saat seseorang mulai menunjuk ke wajahnya. Selama hubungan kami merenggang, apa yang sebenarnya terjadi pada Kirk?

"Jangan harap kami akan memilih ayahmu, aku masih sekolah di bawah yayasan ayahmu pernah menyita manga adikku saat dia kelas 5."

Aku melihat celah jalan yang cukup untuk kami berdua di kanan barisan booth fanmerch. Kirk masih berusaha menenangkan peserta keributan yang mulai mengambil gambar wajahnya. Aku segera menyambar lengan Kirk dan menyeretnya sekuat tenaga untuk meninggalkan kerumunan itu. Awalnya aku kesulitan karena badan Kirk jelas lebih berat dariku, tetapi dia cepat mengerti maksudku dan langsung mengikutiku melarikan diri. Teriakan dari kerumunan masih menggema bahkan saat kami sudah cukup jauh, kukira karena suara mereka memang besar tetapi saat aku menoleh ternyata kami berdua malah dikejar.

Di depan kami, sekitar 5 meter, ada lift yang mulai menutup. Itu satu-satunya kesempatan kami untuk lari dari mereka. Aku agak terhuyung saat Kirk tiba-tiba berlari lebih cepat dariku, sekarang malah  dia yang menyeretku. Tujuan kami sama, lift yang perlahan mulai menutup. Larinya sangat kencang, sampa-sampai saat dia berhasil masuk dan menghentikan larinya malah menciptakan tolakan yang besar, ia nyaris membentur tembok. Kirk yang tahu aku akan mengalami hal yang sama segera berbalik dan menempelkan punggungnya ke tembok. Tangan kanannya menarikku masuk ke dalam lift, sementara tangan lainnya memeluk pinggangku saat aku mulai membentur badannya. Itu berlangsung sangat cepat.

Pintu lift tertutup dan kami berhasil kabur.

Aku berusaha mengatur napas dan detak jantungku yang tak beraturan. Tatapan anak kecil yang melongo di sebelahku membuatku malu dan cepat-cepat melepas tangan Kirk dari pinggangku serta berjalan mundur agak menjauhinya.

"Kenapa sih?" Kirk menggerutu bingung.

Aku memalingkan muka kesal, bisa-bisanya dia tak merasa canggung. Padahal posisi kami tadi itu sudah termasuk berpelukan. Aku ulangi, PELUKAN. Terakhir kali kami berpelukan itu saat kelas 6 SD, Kirk bilang dia akan sekolah di SMP yang berbeda denganku. Saat itu aku sangat sedih dan tak mau melepaskan pelukan kami sampai Mom yang memaksa untuk memisahkan kami.

"Kalian berdua kan masih bisa bertemu setiap hari. Rumah kita juga berhadap-hadapan kan."

Awalnya aku mempercayai itu dan kami memang masih sering bermain bersama walaupun hanya di akhir pekan. Entah kapan tepatnya, Kirk tiba-tiba jarang mau bermain denganku lagi dan memperbanyak aktivitas di sekolahnya. Dia mulai main basket, padahal tak suka itu. Dia mempelajari muai thai, padahal dia bilang tak sekuat itu untuk belajar bela diri.

Suatu hari aku datang ke rumahnya, mengkonfrontasi sikapnya yang seakan tak mau main lagi denganku. "Kenapa kau selalu beralasan saat aku mengajakmu bermain bersamaku?"

Kirk masih berlari di treadmill tanpa menghiraukanku, dia malah membuang muka. Tentu saja hatiku jadi dongkol dan aku mulai berteriak padanya.

"Kenapa kau tidak mau main lagi denganku? Kenapa kau tidak datang ke teater akhir tahunku? Kenapa kau selalu tidak ada di rumah saat aku datang? Kenapa kau selalu menghindar saat kita bertemu di pesta atau makan malam antar keluarga? Kenapa kau bahkan selalu berangkat lebih pagi dariku? Kenapa kau ... seolah menghindariku."

Kirk tak langsung menjawab. Dia memperlambat treadmillnya yang sebelumnya berlari menjadi berjalan sebelum akhirnya turun dan menyeka keringatnya dengan handuk di kursi sebelahku. "Bukankah seharusnya begitu? Aku dan kau akan menjadi dewasa, Lori. Sudah saatnya kita berhenti saling bergantung seperti ini."

Moonlight And RosesWhere stories live. Discover now