CHAPTER 23 - A TRY OF WALL-FOLLOWING

2.1K 220 20
                                    


GRISDANE FERNANDEZ

Sebuah pondok di pinggir jalan, Batu, Malang

January 7th, 01.00 A.M




Aku bersumpah, kali ini aku tidak pingsan lagi, atau bermimpi, atau memikirkan betapa indahnya ciptaan Tuhan yang bernama Brooklyn Bechkam itu. Aku sepenuhnya sadar. Mataku terus memandang bulatan-bulatan yang bersinar lumayan terang di atas sana, dengan suara pembicaraan beberapa orang terngiang-ngiang di telingaku. Sesekali aku menahan napas, seperti yang selalu kulakukan kalau aku sedang dalam proses menenangkan diri, lalu menghembuskannya setelah 10 detik. Karena itulah sebenarnya aku terpilih menjadi salah satu atlit berbakat di klub renangku.

Kali ini aku kembali memikirkn alisku. Bagaimana kalau alisku luntur lagi? Sudah bersusah payah menggambarnya sampai berjam-jam, dan aku harus kehilangannya terus karena harus bertarung dengan orang-orang beralis gundul yang samasekali tidak mengerti indahnya seni melukis alis. Argh! Benar-benar membuatku frustrasi!

Karena bosan memandangi bulatan-bulatan berwarna kekuningan yang rupanya adalah lampu ciptaannya Pak Edison, aku berdiri lalu bersandar di punggung Carlo yang sejak tadi hanya duduk sambil merenung. Kulirik temanku itu sambil mencium-cium bau keteknya, yang masih harum, yang entah sejak kapan masih diam seribu bahasa.

Seandainya ada si Ethan atau Javier, aku kan bisa meminta bantuan mereka.

"Bisa katakan lagi padaku, kenapa kita dibawa kemari dan bukannya rumah sakit atau hotel?"

Aku menoleh pada Jay yang sibuk berbicara dengan pemilik pondok mungil ini.

"Maaf, dek, tapi mendadak ada sekumpulan orang dari Museum Angkut yang berbondong-bondong membawa kalian kemari. Saya juga kaget melihat ada enam anak muda yang pingsan dan sekarang memenuhi pondok saya ini," ujar seorang pria paruh baya dengan potongan rambut yang, cukup fancy, di tahun 70-an, yang hanya mengenakan sarung dan kemeja garis-garis biru tua. Jenggotnya yang panjang menambah kesan horor, tapi sebenarnya keren sih kalau beliau mau mengepangnya. "Jadi katakan,di mana adek-adek ini menetap. Akan saya suruh teman saya antar ke sana."

"Buru-buru sekali, Pak, memang bapak ada urusan apa setelah ini?" tanya Ricco.

"Tidak ada apa-apa, tapi saya mau tidur," eh sialan banget, jadi kita diusir gitu?! Gitu?! "Yah, saya ada janji di Pandaan besok pagi, jadi saya harus tidur cepat! Aduh, kalian ini, sudah siuman semua kan? Kalau iya saya telepon teman saya. Atau saya perlu telepon polisi?"

"Eh jangan, pak!" Kudengar Callen dan Pierre langsung melarang si bapak yang melotot ke arahKU, bukannya ke arah Callen ataupun Pierre.

"Pak, kok melototin saya sih?! Yang itu tuh yang ngomong!" kataku sambil menunjuk Callen dan Pierre.

"Sama saja kalian semua, wong satu spesies kok," katanya tak peduli. "Oke, jadi di  mana vila kalian? Atau hotel, hotel kalian di mana?"

Kulihat Jay melihat jam tangannya. "Sudah jam satu pagi, Pak. Mana ada yang masih bangun jam segini? Daripada kita ngerepotin..."

"Ngerepotin sekali kalian memang!"

Ahhh! Bener-bener dah ini orang.

"Nggak perlu, Pak. Kita jalan pulang sendiri saja. Bapak tidur sana, saya doakan besok batal janjian," ujarku sambil berdiri dan menarik Carlo yang masih kelihatan lemas. "Lou, ayo kita ciao."

Melihatku menarik-narik tangannya, Carlo langsung tersadar dari lamunannya dan segera berdiri.

"Lou," bisikku menyenggolnya. "Kamu kenapa sih?"

TFV Tetralogy [4] - Journal Of Truth (2015)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang