FINAL CHAPTERS - CALLENSY REECE

1.6K 199 17
                                    

CALLENSY REECE

Core Maze, Batu, Malang

January 7th, 05.10 A.M

Yang kurasakan sekarang hanyalah panas dari api ajaib yang dibuat Violet dengan kemampuan sulapnya. Setelah kukorek-korek, cewek itu rupanya menyimpan korek api di balik baju lengan panjangnya yang bermodel one shoulder. Sambil berbincang-bincang ringan, Gris di sebelahku sibuk mengobati Jay. Cowok itu berhasil selamat, walaupun kondisinya sedikit mengenaskan. Dia butuh bantuan secepatnya.

"So, untuk memuaskan rasa penasaranku padamu, Vio," kata Gris membuka pembicaraan. "Apa lipstikmu itu NYX?"

Violet menoleh, menatap Gris sambil tersenyum sinis.

"Nyx Matte yang tea rose," kata Violet singkat. "Aku selalu suka warna ini. Bisa digunakan dengan baju apa pun."

"Bukankah bajumu hanya ini saja?" tanyaku blak-blakan, tampak membuatnya sedikit tersinggung. "Maksudku, kamu kelihatannya hanya suka warna hitam."

"Well, aku nyaman dengan pakaian seperti ini waktu bertugas," kata Violet santai. "Kembaranku di sana juga berpakaian seperti ini. Bisa menampung banyak benda, tapi kalau di tempat aku tidur biasanya, aku malah cuma pakai sport bra doang."

"Memang kamu nggak kedinginan?" tanya Gris penasaran. "Pake sweater?"

"Ya pakai dong, Grisdane," kata Violet meringis. "Tapi jarang. Biasanya aku pakai baju lengan panjang."

Kami berdua hanya mengangguk-angguk saja mendengarnya. Sejak tadi, aku dan Gris terus bertanya mengenai Tempat Tidur-nya, tapi Violet hanya tersenyum lalu membuang muka sambil berkata "Rahasia Ilahi".

Sekarang aku mulai berpikir kalau dia adalah titisan setan.

"Aku minta maaf, Len," kata Violet menoleh padaku. "Karena tadi aku... tidak sengaja membunuh Ricco."

Mengingat nama itu membuatku langsung down. Nama yang selama ini begitu kuelu-elukan, selalu kubanggaan di depan mama dan papaku. Mereka berdua bahkan merestui aku dan Ricco. Lalu semuanya berubah begitu saja, hanya dalam hitungan detik. Dia merangkul Kathy di depanku, menghancurkan perasaanku begitu saja, seakan-akan aku dan dia tidak pernah ada apa-apa. Kalau dia masih ada, aku ingin sekali menampar, menggorengnya, menguliti dia, kusate kalau perlu, meminta penjelasan kenapa dia melakukan ini semua.

Kalian tahu kan rasanya terlanjur sayang? Saat orang yang kamu sayang melakukan kesalahan fatal, sekeras apa pun usahamu untuk marah dan ngambek dengannya, kamu tidak bakal bisa. Karena rasa sayangmu melebihi keinginanmu untuk marah. Inilah yang kurasakan sekarang, sudah seperti orang bego saja. Antara aku ingin memaafkannya, dan marah besar dengannya karena sudah mencampakkanku . Masalahnya, sekeras apa pun aku memaksa diriku untuk marah dengan Ricco, aku tidak bisa. Aku terlalu sayang dengannya, sampai rasanya aku hanya bisa duduk di sini, berharap waktu bisa diputar dan meminta penjelasan atas apa yang sudah dia perbuat, barangkali sesuatu dapat dilakukan untuk menebus rasa bersalah sekaligus kesal yang merundungku tanpa henti sejak tadi. Maksudku, kenapa dari sekian banyak perbuatan jahat di dunia ini, harus itu yang dia pilih, mengkhianatiku? Kenapa tidak sekalian saja dia membunuhku? Begini kan aku harus hidup dihantui rasa pedih dan sakit. 

Tapi aku tahu itu tidak mungkin. Semuanya sudah terjadi dan menjadi masa lalu. Ricco sudah menjadi masa laluku. Tak perlu mengingat-ingat yang telah lewat, tak bakal ada habisnya dan hanya akan menimbun dendam tak berujung...

Tapi tetap saja, kenapa harus aku yang dikhianati?

Lalu Carlo. Aku melihatnya dengan jelas, dia menembak kepalanya sendiri, padahal dia tidak tahu kalau chip di dalam tubuh kita ini dikontrol oleh alat yang sudah dimatikan oleh Violet (sampai sekarang aku masih tidak paham darimana dia bisa tahu cara mematikannya). Secara logika, dia mati sia-sia.

TFV Tetralogy [4] - Journal Of Truth (2015)Onde histórias criam vida. Descubra agora