Rahman dan Riana (2)

4.7K 173 18
                                    

kita mengobati, namun Allah yang menyembuhkan.

perkataan itu selalu terulang di otak Riana. ia berdiri menatap ke arah ruang ICU itu sambil menutup mulutnya dengan satu tangannya, dan satu lagi ibarat memeluk tubuhnya erat. ya, di dalam sana ada Gladys, pasien kelainan kulit yang biasa disebut XP itu kini sudah mencapai tahap kanker kulit stadium 3. Riana hanya bisa berusaha tegar agar tak satupun air mata jatuh dari matanya.

ia ingat dulu, saat SMA Rahman pernah bertanya,

"ri, kamu mau jadi dokter apa nanti?"

"yang jelas dokter umum dulu. masalah spesialis, itu bisa kufikirkan nanti"

"em, setidaknya, kamu pasti punya minat kan? apa? pasti ada deh. menurutku, kamu cocok jadi dokter anak."

"hehe.. aku gak mau jadi dokter anak, Man."

"kenapa? prestisius loh! anak anak indonesia masih banyak dan butuh banyak dokter juga"

"ya, memang. cuma, aku gak mau suatu saat aku lebih ngurusin anak orang daripada anakku sendiri, dan aku gak sanggup saat liat anak anak yang jadi pasienku nanti meninggal di depan mataku sendiri. hiii.. enggak deh Man"

"resiko itu pasti ada, Riana. karena saat memilih jadi dokter, kita harus tahu satu hal yang sangat penting. kita memang yang mengobati, Allah yang menyembuhkan"

dan perkataan Rahman itu benar saja, sekarang seorang anak belia itu harus dikurung dengan ruangan ICU penuh kaca film 100 persen, dengan oksigen dan selang sana sini. sejak beberapa hari yang lalu kondisi gadis itu memang turun drastis. Riana frustasi. bagaimanapun, ia harus menyelamatkan Gladys sampai akhir. apapun hasilnya nanti, sehat atau tidaknya gadis itu, Riana harus ikhtiar maksimal.

dokter spesialis kulit itu berjalan meninggalkan ICU. ia tak mau keluarga gladys ataupun gladys sendiri tahu, kalau ia tak dapat membendung air matanya.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ramadhan kali ini memang terasa jauh lebih berat bagi riana, pasalnya entah kenapa ia tak sedekat dulu lagi dengan Rahman. Suaminya itu kini malah sering tiga hari tidak pulang. Ya, walaupun Riana tahu kemana perginya suaminya itu selama tiga hari. Hendri selalu menjadi informer keadaan Rahman. Ya, dokter yang menikahinya 5 tahun yang lalu itu sedang tidur di kamar jaga dokter bedah rumah sakit malam ini. Meskipun menurut penuturan hendri, jadwal operasi sudah berakhir jam 10 malam. Riana hanya mampu menggigit bibir bawahnya. Apa yang terjadi dengan Rahman? Kenapa dia seperti menyembunyikan sesuatu? Apa yang riana tak boleh tahu?

Tidak. Riana tahu betul kalau Rahman pasti masih mencintainya. Rahman bukan tipe pengkhianat seperti adam, bukan? Ia harus singkirkan gelombang fitnah yang mulai merasuki otaknya itu. Bagaimanapun kepercayaan merupakan sebuah ketetapan dalam hubungan ini. Ia tak mau kapal ini karam begitu saja hanya karena kecemburuan buta.

Riana menatap gadis kecilnya yang sudah tertidur pulas di atas ranjang mereka. Pipi kemerahan dan rambutnya yang lurus begitu mirip dengan dirinya. Namun hidung itu, pola mata itu, warna rambut kecoklatan itu, dan mata coklat yang menawan itu? Itu semua milik rahman. Riana mulai gusar. Pikirannya harus segera ditepis daripada akhirnya melayang. Ia tak mau ini menjadi seperti kata orang, pernikahan itu hanya manis di tahun tahun pertama saja, tahun berikutnya hanyalah nista.

Wanita berpakaian tidur satin berwarna pink cerah itu bergerak ke arah meja rias, menyisir rambutnya perlahan, sambil matanya selalu tertuju ke arah handphonenya, berharap Rahman akan pulang. Rambutnya yang lurus itu dapat disisir rapi dalam hitungan menit saja. Dan sampai saat ini Riana tidak kunjung mendapat kabar. Handphone nya masih sunyi bak kondisi hatinya saat ini.

she's my love doctorWhere stories live. Discover now