KITA

3.8K 227 17
                                    

Author: Fannysaufina


***


12 Desember 2015

"Hujan lagi huh." Desah Kinan pelan.

Langit sore—hari ini—memang tak bersahabat dengan Kinan. Sejak siang tadi, langit berubah menjadi mendung, angin berhembus lebih kencang dari biasanya dan udara tentu saja terasa lebih dingin dari sebelumnya.

Kinan. Kinan Ziendayina, begitu nama lengkapnya yang tertera di KTP. Perempuan yang mempunyai rambut berwarna hitam pekat dan lebih senang menguncirnya menjadi satu—layaknya buntut kuda. Namun, tak jarang ia membiarkan rambut hitamnya terurai dengan indah. Perempuan dengan kulit yang sama seperti kulit orang jawa kebanyakan dan dengan sepasang lesung pipit yang membuatnya manis. Tinggi badannya tidak cukup dibilang tinggi namun juga tak pendek, tubuhnya pun tidak berisi dan tak jua terlalu kurus. Sebuah definisi yang bisa dibilang cukup menarik untuk perempuan seusianya.

Dengan kacamata yang selalu bertengger dihidungnya, ia terkesan lebih pendiam dan tak tertarik dengan dunia sekitar. Ia memang pemalu, hanya dengan orang-orang tertentu ia dapat menjadi Kinan yang cerewet dan senang bergurau.

Kinan tidak menyukai hujan, terlebih pada sore hari. Ia tak bisa melihat indahnya langit yang perlahan berubah menjadi orange, karena awan-awan gelap menutupi keindahan itu. Ia tak suka udara dingin sore yang perlahan menjadi sangat mencekam saat hujan datang. Ah, hujan memang menyebabkan udara dingin, baik sore ataupun siang, batinnya.

Itu adalah sebagian kecil alasannya tak menyukai hujan, alasan yang selalu ia ungkapkan kepada siapapun, namun ia masih mempunyai alasan yang—mendasar—ia simpan sendiri, untuknya, untuk hatinya dan untuk Tuhan.

Ia menghirup dalam-dalam aroma petrichor yang selalu datang kala hujan datang. Menenangkan, hanya itu yang terlintas dibenaknya. Kinan memang tak menyukai hujan dan udaranya namun selalu menikmati petrichor. Bagi Kinan, hujan seperti membawa dua efek yang sangat berefek dengan hatinya. Dingin dan kenyamanan.

Tangannya ia biarkan terulur, berusaha menggenggam tetesan air hujan yang mengenainya, namun tak ada hasil yang berarti. Ia memejamkan kedua matanya, menghirup dalam-dalam aroma hujan, sekali lagi. Kali ini, membiarkan hujan perlahan-lahan merambatkan dingin ke dalam hatinya dan hasilnya berhasil. Membiarkan petrichor membawa kenyamanan yang mengobati hatinya yang menjadi dingin dan hasilnya nihil. Dingin hatinya dan dingin yang disebabkan hujan seakan membuatnya sudah tak mengenal apa itu nyaman yang sesungguhnya.

Rasa nyamannya seakan sudah menghilang sejak 4 tahun yang lalu, bersama lelaki yang menghilang juga. Bukan. Lelaki itu bukan menghilang, ia memang pergi. Dan Kinan tahu siapa penyebabnya.

***

6 November 2008.

Kinan baru saja menghembuskan nafas leganya saat mendengar suara bel terdengar. Bel yang berhasil membebaskan dirinya dari kurungan pelajaran fisika milik Pak Setno. Kinan tak pernah mengerti bagaimana bisa gurunya itu tak bosan untuk terus mengeluarkan kata-kata selama jam pelajaran sedang berlangsung. 45 menit pertama memang selalu diisi dengan materi yang bisa membuat kepala siswanya pecah dan 45 menit selanjutnya Pak Setno—dengan senang hati—akan berceramah mengenai apapun, terus bicara mengenai segala hal yang ia ketahui. Tak jarang pembicaraannya hanya pembicaraan yang pernah ia ungkapkan sebelumnya. Dan dalam waktu 90 menit, Pak Setno benar-benar membuat siswanya merasakan ada yang ingin meledak di tubuh mereka. Kepala.

Kumpulan One ShotWhere stories live. Discover now