Alanza

2K 132 1
                                    

Author: wrongdirection_

***


Tulisan-tulisan hampa selalu mewarnai buku catatanku. Akhir-akhir ini hanya dia temanku. Biasanya setiap malam seperti ini Ivana menemaniku, ia adalah seorang kakak yang setia mendengar curahan hatiku. Tapi sudah seminggu ini aku tidak melihat wajah manisnya.

Aku melihat wajahnya murung, tak ceria seperti biasanya. Setiap kali aku menanyakan, ia tidak pernah menjawab. Mungkin dia punya masalah di sekolahnya atau mungkin masalah percintaannya yang terlalu rumit.

Akhir-akhir ini tak ada satupun yang berbicara denganku. Ivana dengan masalahnya dan ibu mungkin sedang sibuk dengan pekerjaannya.

Seperti pagi ini, menurutku pagi hari ini cerah. Aku keluar kamar dengan memakai seragam sekolah yang sudah rapih. Sepi. Mataku berkeliaran mencari Ibu dan Ivana. Kami hanya tinggal bertiga, ayahku sudah menghilang beberapa hari yang lalu. Ibu dan Ivana sebenarnya tahu keberadaan ayah, tapi ia tidak pernah menceritakannya kepadaku.

Aku menuju ruang makan, aku membuka tudung saji dan ternyata kosong. Biasanya sebelum pergi kerja ibu sudah menyiapkan bekal untukku. Tapi hari ini tidak, mungkin saja ibu belum membeli bahan-bahan masakan.

Aku menengguk segelas air putih, tanpa pamit aku berangkat sekolah. Biasanya Ivana menungguku, hari ini sudah di pastikan aku berangkat sendiri.

Halte di persimpangan jalan ini sudah ramai. Selang berapa menit aku tiba, bis yang menjadi transportasi ku sehari-hari ke sekolah pun datang.

Begitu ramai penumpang pagi ini, aku pun tidak dapat kursi penumpang. Tanganku meraih besi yang berada di langit-langit bis.

Di hadapanku ada seorang ibu yang sedang memangku anak perempuan. Aku tersenyum kepada anak itu.

8 menit perjalanan dengan bis menuju sekolah. Aku turun dan banyak orang yang turut turun, karena halte dekat sekolahku adalah tempat di mana pergantian bis.

"Mengapa orang-orang tidak sabaran sih, apa mereka tidak lihat kalau ada orang", gerutuku kesal. Pagi ini menyebalkan, orang-orang yang turun dari bis membuatku terjunggal, aku tahu mereka buru-buru. Tapi mengapa aku kena sasaran, apa karena badanku kecil jadi mereka tidak melihat keberadaanku.

Aku berjalan menelusuri jalan, memang jarak halte dan sekolah tidak jauh, tapi aku masih harus berjalan sekitar 5 menit.

Jam telah menunjukan pukul 6.50 berarti 10 menit lagi pelajaran akan di mulai. Aku segera berlari karena gerbang akan tertutup 5 menit lagi.

Di sekolah, aku bukan tipe orang yang populer. Aku jarang bercengkrama dengan teman-teman maupun guru-guru di sekolah.

Saling sapa pun hampir tak pernah. Aku hanya merasa mereka datang kepadaku jika ada maunya saja.

Itu alasan ku mengapa aku tidak mau berteman dengan sembarang orang. Mereka semua bermuka dua, manis di depan ku tapi busuk di belakangku.

Aku memiliki seorang sahabat. Dia lah satu-satunya orang yang selalu mengerti perasaan ku.

Namanya, Juan. Dia tampan, pintar, dan siswa terkaya di sekolah. Ayahnya donasi terbesar sekolah ini. Tak jarang banyak yang mencibirku hanya memanfaatkan kekayaannya.

Semenjak kelas satu aku dan Juan berteman. Dia banyak bercerita kepadaku, tentang keluarganya, tentang dirinya dan tentang kehidupannya.

Aku juga tidak tahu mengapa Juan ingin bersahabat denganku. Yang aku tahu dia juga adalah salah satu korban pembullyan.

Kumpulan One ShotWhere stories live. Discover now