Moving On

1.9K 99 5
                                    

Author ultraskin


Aku seperti sedang di ambang kematian saat kata-kata putus lepas begitu saja dari bibirku, aku tak menyangka kalau memang benar dalam jiwa ku memintaku untuk melepasnya, aku tidak mau menyesal nantinya. Aku tidak mau menyesal karna telah melepasnya.

Kami berpacaran memang bukan dari hati, tapi cinta itu datang karna terbiasa bukan?.

Kami berpacaran hanya karna ingin mencapai tujuan masing-masing, yaitu mencoba melupakan mantan. Sebenarnya ia sangat bodoh karna ingin melampiaskan semuanya kepada perempuan gila, dan bodoh sepertiku. Aku bahkan tidak setara dengan mantan pacarnya yang sopan, mungil dan manis. Aku bagaikan pilihan terakhirnya.

"Lo yakin?" dia bertanya meyakinkan.

Aku mengangguk, kemudian ia bertanya kembali.

"Apa alasannya?"

"Gue gak bisa ngelanjutin ini semua," karna gue mulai merasakan getaran aneh.

"Jangan anggap ini sebagai permainan yang kita buat," mengapa omongannya begitu kosong? Apa ia tidak sadar kalau aku telah jatuh hati kepadanya?.

"Gue menganggap semuanya sebagai mainan, Raf." aku mengatakan kebohongan besar. Ya, kebohongan besar.

"Oke, kalau itu memang mau lo," tidak tampak ekspresi seperti menyesal di wajahnya. Dia memang menganggap semuanya permainan.

Aku berhasil melupakan mantan pacarku sebelum dia. Aku berhasil, namun sekarang aku gagal menghindar dari perasaan ku terhadapnya.

Ini semua terasa begitu berat di pundakku. Perasaan ini begitu berat, aku yakin, aku akan sulit untuk melupakannya dan memusnahkan bayangannya dalam hidupku.

"Kalian putus?" tanya Sarrah, ia sahabt terbaik yang pernah ku punya. Namun rasanya pertanyaan yang ia lontarkan begitu mengganjal di tenggorokanku yang harus mengeluarkan suara untuk menjawabnya.

Tidak ada pilihan lain, aku memilih untuk mengangguk.

"Kenapa?" tanya Sarrah, lagi.

"Gue udah berhasil," balas ku singkat.

"Lo yakin ini semua karna lo berhasil?" aku mengangguk. "Bukan karna kemarin dia tidur di meja dan berhadapan ke arah Avira kan?" aku tertawa hambar, ia menaikkan salah satu alisnya.

"Gue yakin kok Sar, gue gak permasalahin hal itu." ia mengagguk, lalu memfokuskan dirinya pada buku gambar yang ada di hadapannya.

Setelah ucapan putusku tadi, Rafly masih menyikapiku dengan sama persis ketika kami berkenalan baik lewat sebuah ekstrakulikuler, dia masih memberikanku senyumnya, tatapan lembut yang lumayan menjengkelkan, dan suaranya yang begitu bersahabat.

Lihatkan? ia terlalu baik untukku. Bahkan ia tidak pernah bilang kalau aku adalah sebuah bahan pelampiasannya, namun aku mengakui kalau ia adalah bahan pelampiasanku.

Aku membakar semua tentangnya dalam otakku, ketika ia datang menghampiriku dan duduk di bangkunya yang berada tepat di hadapanku. Ia menoleh kepadaku.

"Udah ngerjain PR bahasa inggris belom?" aku tau tujuannya menanyakan hal ini adalah untuk menyalin milikku.

Aku mengangguk, ia menyeringai. Kode untuk meminjam buku latihanku.

"Huuu, si Rafly, nyontek mele," sindir Sarrah.

"Tau lo," balasku yang masih sedikit kaku.

"Kalo gak nyontek, nanti gue di suruh keluar sama pak Ferhat," Rafly menyeringai lalu sibuk mengerjakan PRnya di mejanya sendiri.

Kumpulan One ShotWhere stories live. Discover now