Bagian 3

16.3K 1.7K 16
                                    

Nanda telat. Dan akan selalu telat.

Kali ini Alya tahu Nanda tidak akan pernah kapok jika harus berdiri satu jam, bahkan sampai waktu pulang sekolah pun, Alya yakin Nanda tidak kapok. Justru Nanda akan senang. Dia senang bolos pelajaran. Alya sudah menyiapkan hukuman yang lain. Tapi dia harus meminta ijin dulu pada guru BK.

"Ikut aku!" perintah Alya.

Nanda yang baru saja turun dari motornya menggeleng.

"Males! Ngapain gue nurutin perintah lo."

Nanda menguap. Tidak peduli dengan gadis di hadapannya. Tanpa berkata apa-apa, Alya langsunge menjewer telinga Nanda dan menggeret laki-laki itu ke BK.

Nanda mengaduh. Bukan karena sakit, tapi dia paling benci sentuhan.

"Eh, lepasin! Lepasin gue atau gue tendang lo sekarang!"

Alya tidak peduli. Dia semakin keras menarik telinga Nanda.

"Tendang aja enggak papa," kata Alya santai.

Nanda menatap gadis di hadapannya dengan heran. Baru kali ini dia menemukan gadis seberani Alya. Alya menghentikan langkahnya di depan ruangan yang dipintunya bertuliskan 'Bimbingan Konseling'. Nanda tersenyum kecut. Percuma saja baginya jika Alya membawanya ke ruangan yang bagi anak-anak nakal menyeramakan. Nanda sudah kebal dengan BK.

Alya mengetuk pintu. Tak lama kemudian muncul seorang guru laki-laki.

"Selamat pagi, Pak Andrea," sapa Alya ramah.

"Pagi juga, Alya," balas Pak Andrea ramah. Matanya bertemu dengan sosok Nanda di belakang Alya. Pak Andrea berkerut.

"Pak, saya mau pinjam kunci ruang yang biasa tempat buat hukuman. Bisa? Saya punya hukuman baru buat Nanda biar dia kapok," jelas Alya.

"Oh tentu saja bisa, Alya. Sebentar ya."

Pak Andrea kembali masuk. Nanda tersenyum miring.

"Halah, percuma aja lo buat hukuman baru. Gue orangnya enggak kenal kata 'kapok'," kata Nanda sombong.

Alya tersenyum licik dan melirik Nanda. Nanda belum tahu sedang barusan dengan siapa. Peraih peringkat satu di angkatannya.

"Oh ya? Kita lihat aja nanti," balas Alya.

Nanda berdecak kesal. Dia melihat pipi kiri Alya yang lebam dan merah. Bekas tamparannya kemarin.

Pak Andrea kembali keluar dengan sebuah kunci. Dia menyerahkan pada Alya. Pak Andrea kembali berkerut.

"Loh, Alya, pipi kamu kenapa? Kok bengkak parah kayak gitu?" tanya Pak Andrea.

"Oh ini. Iya, Pak, kemarin saya tidur terus kejatuhan barang. Heheheheh...saya teledor, Pak," kata Alya cengegesan.

Pak Andrea geleng-geleng kepala.

"Lain kali hati-hati, Alya," pesan Pak Andrea.

Nanda menatap wajah samping Alya. Dia tidak mengerti, kenapa Alya tidak jujur saja pada Pak Andrea. Alya terlihat membencinya. Seharusnya Alya jujur, supaya dirinya bisa dihukum lebih berat.

"Yaudah, Pak. Saya dan Nanda permisi," pamit Alya.

Alya menyeret Nanda. Bukan telinganya, tapi kain lengannya yang diseret. Nanda jadi semakin kesal.

"Aduh! Iya, iya, gue enggak kabur. Lepas sekarang!" perintah Nanda. Alya menurut. Dia melepaskan tangannya dari kain lengan Nanda.

"Kamu jalan di depanku!" perintah Alya balik.

"Astaga! Paranoid banget sih nih orang! Dibilangin gue enggak akan kabur enggak percaya," gerutu Nanda. Cowok itu tetap menurut. Mereka kembali berjalan.

"Eh, elo enggak usah sok jadi pahlawan deh. Bohongin Pak Andrea buat ngelindungin gue. Sok banget elo," sindir Nanda.
Alya mengangkat alis.

"Maaf ya, aku bukan ngelindungin kamu. Jangan kepedean. Aku bohong karena aku enggak mau cerita panjang lebar masalah kemarin," balas Alya.

Nanda terdiam. Sungguh, baru kali ini ada cewek yang berani menantangnya. Walau secara tersirat, tapi Nanda tahu ada maksud di balik sosok Alya yang selalu terlihat tenang saat berhadapan dengannya. Sekalipun cowok itu melakukan kekerasan fisik seperti kemarin, Alya tidak terlihat masalah dengan itu.

Mereka sampai di depan ruangan berpintu kayu. Ruangan itu terletak jauh dari area yang lain. Itu adalah ruang hukuman. Sengaja dibangun menjauh dari ruangan lain.

"Kamu sudah dengar kabar tentang kedua temanmu?" tanya Alya sambil membuka pintu yang terkunci.

"Maksud elo Arya sama Diaz?"

Alya bergumam sebagai jawaban. Dia membuka pintu. Suasannya begitu pengap. Ruangan berbentuk balok itu hanya diisi dengan beberapa kursi dan meja ya berantakan. Tidak ada AC. Udaranya pengap. Hanya ada tiga buah jendela.

"Mereka harus ke kantor polisi," kata Alya.

Alya menutup pintu setelah Nanda masuk. Nanda hanya diam berdiri di dekat pintu sambil memperhatikan Alya yang menggeret sebuah kursi dengan meja di atasnya. Tidak ada niatan untuk menolong Alya.

"Beruntung sekolah bisa memulangkan mereka. Tapi mereka diskors beberapa hari. Jadi kamu enggak akan lihat mereka beberapa hari ke depan," kata Alya. Dia menghela nafas panjang. Dua meja lengkap dengan kursinya tertata rapi di tengah ruangan. Jarak antara bangku satu dan yang lainnya berjauhan.

Nanda yang mendengarkan cerita Alya mendengus kesal.

"Ini semua karena elo! Coba kalau elo enggak lapor polisi. Asal elo tahu ya, gue ke sekolah bukan buat belajar, tapi buat berteman. Jadi gue dengan senang hati menerima hukuman skors juga," kata Nanda kesal.

Alya melirik Nanda kesal.

"Dasar cerewet! Duduk sini!" perintah Alya ikut kesal.

"Males!"

Nanda berniat keluar. Tapi pintunya terkunci. Nanda mendelik. Dia menoleh dan melihat Alya berkacak pinggang.

"Elo kunci?"

"Iyalah. Aku tahu kamu pasti akan kabur."

BRAK!

Nanda menendang pintu kayu itu dengan kesal. Mau tidak mau akhirnya dia duduk di bangku yang telah digeret Alya.

"Cepetan! Gue enggak suka di sini!" bentak Nanda.

Alya mengambil sesuatu dari tas punggungnya. Dia mengeluarkan map bening. Dia menarik selembar kertas dari dalam map bening itu, kemudian kembali memasukkan mapnya. Dia merogoh pensil kayu dan penghapus yang telah dia sediakan di pinggir tas.

Dia menaruh selembar kertas dan pensil kayu itu di atas meja Nanda.

"Kerjakan soal ini. Kamu enggak boleh keluar sebelum benar semua."

Nanda menatap kertas putih di hadapannya sebentar. Kemudian mendelik.

"ELO GILA APA?!"

[1/2] ALASANTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon