Bagian 13

13.1K 1.4K 11
                                    

"Kamu gila?!"

Alya frustasi dengan sikap Nanda yang nekat. Bayangkan larut malam, tanpa kendaraan, sim salabim cowok itu muncul tak terduga di depan rumah Alya. Untung saja kamar ayah Alya tidak menghadap halaman depan. Kalau tidak, bisa-bisa Alya diusir dari rumah.

"Mungkin," jawab Nanda santai. Cowok itu tampil dengan celana kain hitam, baju putih dengan jaket hitam, dan sandal jepit warna hitam. Rambutnya acak-acakan, tidak rapi seperti tadi pagi.

Alya geleng-geleng kepala. Kini mereka masih berdiri di depan rumah Alya, bersembunyi di balik tiang tembok.

"Mau ngapain sih?! Awas sampai enggak penting!" seru Alya kesal.

Baru saja Nanda ingin menjawab, tiba-tiba sebuah sinar lampu muncul dari tikungan dan menyilaukan mereka. Sebuah mobil hitam melaju pelan di aspal. Alya berkerut. Kemudian mendelik. Otaknya langsung memberi sinyal. Sontak, Alya langsung menarik Nanda bersembunyi di gang kecil yang tepat berada di samping rumahnya.

"Ngapain sih elo?!" seru Nanda kaget.

Alya menaruh jari telunjuknya di depan bibir, menyuruh Nanda diam. Kemudian dia mengintip dari balik tembok. Nanda berkerut. Dia ikut mengintip dari balik tembok.

Mobil itu berhenti di depan rumah minimalis coklat milik keluarga Alya. Alya menahan nafas. Pintu penumpang bagian depan terbuka. Seorang perempum dengan pakaian minim turun. Rambut panjangnya tergerai indah meski sudah malam. Perempuan itu tersenyum sambil berbincang dengan sang pengemudi. Keheningan malam membuat suara mereka terdengar jelas di telinga Alya dan Nanda.

"Lain kali ayo bertemu lagi," suara berat dari dalam mobil terdengar jelas.

"Tentu. Jika aku enggak sibuk," jawab perempuan itu senang hati.

"Kalau begitu aku pulang dulu."

"Baiklah, selamat malam."

Mobil hitam itu berputar arah dan berjalan meninggalkan perempuan itu sendirian. Perempuan itu akhirnya masuk ke dalam rumah, rumah minimalis coklat, rumah Alya.
Dada Alya sesak melihatnya. Dia tidak pernah tahu kapan ibunya pulang. Yang jelas, ketika pagi hari, Alya sudah menemukan ibunya tertidur dia atas sofa dengan pakaian terbuka.

"Siapa dia? Dia kok masuk ke rumah elo?" tanya Nanda bingung.

Alya menghela nafas panjang.

"Itu ibuku."

Jawaban singkat itu membuat Nanda terdiam. Dia teringat cerita Alya yang kemarin.

"Jadi kamu mau ngomong apa?" tanya Alya. Suaranya serak, tidak kesal seperti tadi. Nanda terdiam sebentar. Dia menatap Alya yang bersandar di tembok samping rumahnya, menunduk ke bawah.

Nanda tahu apa yang dipikiran Alya sekarang. Dan dia merasa bersalah. Tanpa terduga, tiba-tiba dia menarik Alya dalam merangkulnya pelukan. Alya kaget.

"Maafin gue yang malem-malem datang ke sini. Kalau gue enggak datang, elo enggak akan lihat yang barusan tadi," kata Nanda sangat pelan dan lembut.

Mata Alya berkaca-kaca. Pelukan adalah sesuatu hal yang sensitif. Ketika Alya berusaha menahan air matanya, di dalam pelukan Nanda, akhirnya dia menangis. Namun ini bukan hanya tentang satu hal. Ini tentang banyak hal yang tiba-tiba muncul dan berkelebat di benaknya.

Maaf, Aldo. Hari ini dia yang pertama melihatku menangis, bukan kamu.

***

Angin berhembus kencang. Dua orang duduk di atas bukit yang menghadap jalan raya. Ini sudah tengah malam. Tapi hiruk piruk ibu kota belum juga berhenti.

"Indah ya..." komentar Alya sambil menatap jalan raya yang penuh dengan kendaraan lalu lalang. Cahaya kendaraannya menerangi jalan malam ini. Memang terlihat indah di tatap dari atas bukit. Alya sengaja mengajak Nanda ke sini. Di sini tempatnya melepas penat. Tidak ada yang tahu tempat ini. Tempat ini tersembunyi di balik pepohonan yang rindang. Alya juga menemukannya tanpa sengaja.

"Sebenarnya Aldo itu siapanya elo?" tanya Nanda tiba-tiba.

Alya menoleh. Nanda tiduran sambil menatap langit malam yang penuh dengan bintang-bintang.

"Dia sahabatku," jawab Alya.

"Oh."

Suasana kembali hening. Alya menatap Nanda lamat-lamat.

"Nanda, aku mau tanya sesuatu..."

Nanda bergumam.

"Kamu kasihan padaku, ya?"

Nanda melirik Alya. Dia bangun dari tidurnya dan menatap wajah polos Alya. Dia tersenyum miring.

"Ngapain gue kasihan sama elo? Buang-buang simpati aja," ejek Nanda.

Alya mengangkat alis.

"Trus kenapa kamu jadi gini?"

"Jadi gini gimana?" tanya Nanda bingung.

"Ya aneh aja. Tiba-tiba kamu berubah..."

Nanda terdiam menatap Alya. Kemudian tertawa pelan. Nanda berdiri dan menatap Alya dengan senyuman mengejek.

"Gue enggak pernah berubah. Elonya aja yang belum kenal gue."

-------

Aaaa akhirnya bisa nulis juga... Maaf kalau ngantung aneh dan dikit 😢😢😢

Jangan lupa vote dan komennya 😊😊😊

[1/2] ALASANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang