Bagian 24

11.6K 1.2K 14
                                    

"Gue harus pergi, Alya. Jauh dari Jakarta."

Alya membeku di tempatnya. Di tatapnya Nanda dengan tatapan tak percaya. Kebahagiaannya langsung luruh seketika itu juga.

Nanda menghela nafas berat. Dia menatap pemandangan kota Jakarta yang semakin padat. Membayangkan bahwa dia tidak akan berdiri di tempat ini lagi dalam jangka waktu yang lama.

"Ke...kenapa?" tanya Alya yang masih kaget.

"Gue bilang tadi, urusan keluarga gue sebentar lagi selesai. Gue sudah tahu cerita semuanya. Karena itu akhirnya mama mau pisah dengan papa, yang seharusnya lelaki itu enggak pantes gue panggil papa,"

Nanda menjeda ceritanya sejenak. Kemudian melanjutkannya lagi.

"Mama bakal pindah, teman mama dulu ada yang menawarkan tempat tinggal, dan mama setuju. Otomatis gue juga harus ikut pindah," cerita Nanda.

"Kapan?" suara Alya terdengar bergetar. Seakan menahan air mata yang ingin segera keluar.

"Kurang lebih lima hari lagi."

Alya mendelik. "Itu cepat banget!"

Nanda mengangguk-anggukan kepala. "Gue sengaja mempercepat. Gue enggak tega lihat mama gue semakin tersiksa di rumah megah bak neraka itu."

Alya terdiam. Kalau sudah alasan yang seperti ini, Alya juga tidak bisa apa-apa.

"Ke mana?"

Nanda diam. Tidak menjawab. Sangat lama suasana hening menyelimuti mereka.

"Ke mana, Nanda?" tanya Alya lagi.

"Gue enggak bisa ngasih tau. Ini rahasia," kata Nanda.

Alya mendesah kecewa. Dia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, bersusah payah menahan air matanya agar tidak tumpah. Dia menghela nafas panjang. Menarik nafas lagi, kemudian menghembuskannya lagi.

"Maaf, Alya," kata Nanda lirih yang semakin membuat dada Alya sesak.

"Aku tahu kamu orang baik, Nanda. Bahkan sebelum aku mengenalmu, aku tahu kamu memang baik," kata Alya.

Nanda tersenyum.

"Makasih. Tapi gue harus menghapus semua tinta merah gue dulu, ngebuktiin ke orang-orang bahwa gue memang bukan orang yang buruk."

Suasana kembali hening. Alya membayangkan esok hari tanpa melihat Nanda, kenapa dadanya terasa sesak? Lelaki itu yang sudah membuat susah hidupnya. Membuatnya hampir di keluarkan dari sekolah.

Tapi di sisi lain, lelaki itu mengetahui masalahnya hanya dalam waktu beberapa hari. Merengkuhnya, saat itu Alya tidak akan lupa. Pelukannya  lebih hangat dari Aldo. Karena dia tahu, Nanda juga merasakan hal yang sama. Dan terlebih lagi, dia jadi menyadari bahwa bukan hanya dia yang punya masa-masa buruk. Ada orang lain, yang punya cerita lebih buruk darinya.

Tapi tetap saja, ini memberatkan hatinya. Walaupun dia sama sekali tidak mengerti mengapa, dadanya sudah semakin sesak. Pandangannya mengabur.

"Al..."

"Ah!"

Dia tidak tahan.

Alya berseru sambil mengeluarkan ponselnya.

"Ah, aku harus buru-buru ke toko kue. Ada kerja mendadak."

Nanda diam. Dia dapat dengan jelas melihat mata Alya yang berkaca-kaca. Dia dapat dengan jelas mendengar suara Alya yang bergetar. 

"Alya..."

Alya memaksakan tersenyum.

"Aku harus pergi dulu! Sampai jumpa lagi!"

Tanpa menunggu balasan Nanda, gadis itu langsung berlari turun. Dari atas, Nanda masih bisa melihat Alya berlari. Gadis itu berhenti sejenak di jalanan aspal. Menunduk. Bahu kecilnya bergetar. Kemudian dengan langkah gontai, Alya kembali berjalan perlahan. Dan kemudian lari kembali, menghilang di pertigaan jalan.

Nanda mendesah pelan. Dia pikir Alya tidak akan sekecewa ini. Dia pikir Alya baik-baik saja. Bahkan justru senang tanpa harus berurusan dengan dirinya lagi. Ternyata dugaannya salah.

Tapi mau bagaimana pun, dia akan tetap pergi. Ini bukan hanya tentang mamanya, tapi juga dirinya. Dia akan membuktikan, dia akan kembali, ketika sosoknya telah sepenuhnya menjadi lelaki jantan.

Ketika saat itu tiba, barulah dia akan mengatakan pada Alya tentang perasaannya.

***

Alya mengunci pintu kamarnya. Melemparkan tubuhnya ke kasur. Beribu-ribu air mata langsung jatuh membasahi seprai kasurnya. Dia sudah tidak tahan. Dan dia juga bingung.

"Kenapa?! Kenapa aku nangis?!"

Alya bertanya frustasi pada dirinya sendiri. Alya menarik nafas. Berusaha menenangkan tangisannya. Tapi saat dia menyadari kalung yang ada di lehernya, dada Alya kembali sesak.

"KENAPA?!"

Alya berteriak frustasi. Masa bodoh jika ayahnya dengar di luar. Dia bahkan tadi membanting pintu utama dan kamarnya. Tidak peduli apakah ayahnya dengar atau tidak.

Alya meraih ponselnya. Menekan beberapa tombol dan mendekatkannya ke telinga.

Suara berat seorang lelaki menyapa dari sana.

"Aldoo..."

Suaranya serak.

"Nanda mau pergi..."

------

Jangan lupa vote dan komennya ☺☺☺

[1/2] ALASANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang