Bagian 14

13.3K 1.3K 24
                                    

Aldo masih marah padanya.

Alya tidak menyangka bahwa Aldo masih marah padanya, dan jauh lebih besar. Cowok itu sama sekali tidak mau menatap Alya. Ketika Alya menyapanya, cowok itu membuang muka. Ketika tanpa sengaja mereka berpas-pasan di koridor, Aldo menghentikan langkahnya dan berbalik arah. Alya menghela nafas panjang. Dia tidak tahu harus bagaimana.

Meminta maaf? Percuma saja, itu tidak akan memperbaiki hubungan mereka. Lagi pula bagaimana caranya dia meminta maaf kalau Aldonya selalu menghindar?

Sore ini gadis itu hanya berdiri di koridor, menatap Aldo dari kejauhan yang sedang berlatih basket. Biasanya dia di sana. Di lapangan basket juga. Duduk menunggu Aldo selesai, menyemangatinya, dan kemudian menemaninya istirahat. Namun sepertinya hari tidak bisa.  Aldo tidak menyadarinya.

Alra tersenyum kecil, seolah ingin memberikan semangat. Kemudian dia berlalu pergi. Meninggalkan koridor. Meninggalkan Aldo yang sebenarnya tahu keberadaannya.

Alra berjalan pelan menuju parkiran. Dia ingin pulang sekarang juga.

"Nak," seseorang dengan suara serak memanggil Alya.

Alya yang baru saja duduk di atas motornya menoleh. Seorang wanita, sudah cukup tua, tersenyum menatapnya. Dahi wanita itu bekerut, seolah menunjukkan beban pikirannya. Tubuhnya tidak terlalu tinggi. Rambut sanggulnya beberapa ada yang putih. Wanita itu memakai kaos putih dengan rok batik di bawah lutut dan sandal jepit. Alra mengernyitkan dahi, tapi kemudian tersenyum.

"Iya, Bu, ada apa?" tanya Alya sopan.

"Yang namanya Alya, bukan?" tanya wanita itu ramah.

Alya sedikit kaget saat wanita itu tahu namanya. Tapi dia tetap tersenyum dan mengangguk.

"Saya Bi Ijah, pembantunya Nanda. Bisa bicara sebentar?"

***
Perempuan tua itu terlihat gelisah. Alya bisa membaca dari raut mukanya yang tidak bisa tenang. Ngomong-ngomong soal Nanda, dia belum melihat sosok itu hari ini.

"Saya bingung harus memulai dari mana..."

Bi Ijah memulai pembicaraan. Mereka duduk di batu bata pinggir jalan, tempat dulu Nanda menampar Alya.

"Apa ini masalah Nanda?" tebak Alya.

Bi Ijah mengangguk.

"Saya tidak pernah melihat Nanda tersenyum di rumah, bawaannya selalu murung. Tapi kemudian beberapa hari yang lalu, dia pulang dengan tas dan peralatan sekolah lainnya. Keesokan paginya, dia tersenyum. Tersenyum pertama kalinya setelah sekian lama murung," cerita Bi Ijah.

Alya terdiam. Dia mendengarkan cerita Bi Ijah dengan seksama.

"Dia cerita pada saya, tentang seorang gadis bernama Alya, di sekolahnya. Dan saya yakin, gadis itu penyebabnya," lanjut Bi Ijah.

Alya kaget. Dia? Dia penyebabnya? Alya merasa tidak pernah melakukan apa pun bagi Nanda. Kenapa dia?

"Tapi hari ini, mungkin adalah titik terberat bagi Nanda.." kata Bi Ijah murung.

Alya menatap Bi Ijah berkerut.

"Kenapa?"

Bi Ijah terdiam sebentar.

"Tadi malam, kedua orangtuanya bertengkar hebat. Dan kemudian mereka...bercerai..."

Alya menelan ludah. Dia paling tidak suka mendengar kata terakhirnya. Selama ini itulah yang paling Alya takutkan. Dan Nanda ternyata merasakannya.

"Tapi sebenarnya bukan di situ letak masalahnya. Nanda pernah bilang, dia bahkan lebih berharap orangtuanya bercerai, daripada hubungan orantuanya selama ini,"

Bi Ijah berhenti sebentar. Dadanya terasa sesak kali ini. Dia sudah menganggap Nanda seperti anaknya sendiri.

"Kemudian, orangtuanya bilang ingin memasukkan Nanda ke panti asuhan."

Alya terperangah. 

"Panti asuhan???!"

Alya tidak mengerti bagaimana ide itu bisa terlintas di otak orangtua Nanda. Kasihan Nanda. Apa yang akan terjadi nanti jika dia di masukkan ke panti asuhan? Padahal kenyataannya kedua orantuanya masih ada.

"Sekarang, Nanda pergi."

Alya menoleh. Pantas saja hari ini dia tidak melihat batang hidung Nanda sama sekali.

"Tujuan saya ke sini, saya sangat memohan padamu, Nak. Tolong, tolong dengan sangat, hibur Nanda. Saya sudah menggap dia sebagai anak saya sendiri. Saya tidak ingin melihatnya sedih lagi," mohon Bi Ijah dengan sangat.

Wanita tua itu menggenggam tangan Alya erat-erat. Mata tuanya berkaca-kaca. Alya menatap Bi Ijah. Tidak tahu harus menjawab apa. Dia tidak ingin menyelam lebih jauh lagi pada kehidupan Nanda. Dia takut nantinya hanya malah semakin memporak- porandakan kehidupan Nanda. Tapi melihat ketulusan dan harapan pada wanita tua di hadapannya, Alya tidak sanggup. Alya tidak sanggup menolaknya.

Alya menghela nafas panjang.

"Akan saya coba."

***

Tujuan pertama Alya adalah bengkel tempat Nanda bekerja. Tapi dia ingat, hari ini bukan waktunya Nanda bekerja. Jadi Alya memutar motornya dan kemudian mencarinya.

Lebih dari dua jam Alya mencari, mencari ke tempat yang mungkin Nanda kunjungi, tapi hasilnya nihil. Dia terpaksa ijin sehari, hanya karena mencari Nanda.

Alya berhenti di salah satu pedagang minuman kaki lima, melepas lelah di sana. Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam. Dan dia masih berkeliaran dengan seragam SMA. Pikirannya berputar, mencari tempat lain yang belum dia kunjungi yang mungkin Nanda kunjungi.

Alya mendelik. Dia teringat satu tempat. Satu tempat yang belum dia kunjungi, bahkan tidak terlintas di otaknya. Alya buru-buru membayar dan kemudian berangkat dengan motornya.

Alya yakin Nanda berada di sana. Tempat favoritnya. Tempat yang pertama kalinya Alya tunjukkan pada orang lain. Tempat tersembunyi yang hampir tidak terjamah orang lain.  Alya memarkirkan sepeda motornya dan meninggalkannya di depan rumah. Dia berlari. Berlari menyusuri jalanan aspal, kemudian jalan bebatuan. Alya berhenti di depan pepohonan-pephonan yang rindang. Tidak ada kendaraan yang bisa masuk. Alya mengatur nafasnya. Dia masuk ke celah pepohonan itu. Kemudian berjalan menanjak ke atas.

Alya berhenti saat melihat siluet seseorang berdiri di atas bukit, memandang keramaian kota di malam hari. Alya menghela nafas lega.

Lelaki itu menoleh.

"Nanda."

--------

Jangan lupa vote dan komennya 😊😊😊

[1/2] ALASANWhere stories live. Discover now