Bagian 19

12.6K 1.3K 12
                                    

Ini cerita sebelum kejadian pertemuan Nanda dengan Alya malak hari di apotek.

Nanda berdiri di depan rumahnya. Rumah megah yang sudah tiga hari ia tidak menapakkan kaki di lantainya. Kenapa harus pulang? Satu-satunya alasan yang Nanda punya adalah dia tidak tahan dengan bau badannya sendiri. Selama tiga hari, dia tidak ganti baju, mandi sekedarnya, dan uangnya sudah habis.

Seorang lelaki berseragam satpam ke luar dari posko kecil dan mengintip dari celah pagar.

"Cari siapa, Mas?"

Satpam itu tidak menyadari remaja kucel di depannya itu adalah majikannya. Nanda terdiam saja. Tidak menjawab. Baru beberapa detik setelah si satpam merasa heran, si satpam melonjak kaget.

"Den Nanda??!!!"

Nanda tersenyum samar. Dia memaklumi jika satpam yang dia biasa panggil Pak Rudi itu tidak mengenalinya. Wajahnya berminyak, kusam. Rambutnya berantakan. Keringat deras membasahi kulit putih yang mulai menghitam yang tak tertutup pakaian. Tidak jauh berbeda dengan anak jalanan.

"Ya Allah, Den! Ke mana aja toh?!"

Nanda tidak menjawab. Dia langsung melangkahkan kakinya masuk menuju halaman depan rumahnya yang luas. Kaki kotornya menapaki lantai pertama di depan pintu putih besar. Dia berhenti. Menundukkan kepala. Dia sedikit terkejut melihat sepatu hitam hak tinggi ibunya yang tertata rapi di depan pintu. Tidak biasanya ibunya ada di rumah ketika matahari sedang bersinar cerah. Biasanya paling cepat pulang menjelang maghrib.

Nanda membuka pintu. Suasana di dalam rumah megah itu masih sama seperti sebelum Nanda pergi. Sepi, sunyi, dan terasa menyedihkan. Dengan langkah cepat, dia berjalan menuju kamarnya. Dia ingin segera enyah lagi dari rumah ini. Hanya sekedar mengambil keperluan yang tertinggal, dia akan segera pergi lagi.

"Nanda."

Langkah kaki Nanda berhenti ketika mendengar suara orang memanggil namanya. Suara yang sudah lama tidak Nanda dengar. Suara yang membuat jantung Nanda seakan berhenti berdetak. Suara hangat dari perempuan yang melahirkannya. Nanda menoleh sedikit. Dia melihat ibunya muncul dari dapur sambil membawa cangkir putih berisi teh hangat. Nanda menatap sosok  ibunya dari atas sampai bawah. Bukannya gaun minim yang ibunya pakai, kali ini ibunya mengenakan celana piama bunga-bunga dengan kaos putih panjang.

"Mama tahu kamu pulang. Ini mama buatkan teh. Duduk dulu, pasti kamu capek," kata Tya sambil meletakkan cangkir putih di atas meja. Nanda menatap cangkir teh dengan kepulan asap di atasnya. Sedikit heran dengan sikap ibunya yang tiba-tiba menjadi baik. Dia menatap ibunya yang duduk di sofa, membuka sebuah majalah.

"Enggak perlu," jawab Nanda dingin.

Tya mengangkat kepala dan menatap anaknya. Tentu dia sudah menduga anaknya akan menolaknya. Dia mengerti bagaimana perasaan Nanda saat ini. Bagaimana pun dia adalah seorang ibu, dia juga punya naluri keibuan.

"Nanda marah?"

Pertanyaan yang mucul dari bibir Tya sepertinya tidak perlu di jawab lagi. Nanda sudah jelas marah padanya. Mana ada seorang anak yang baik-baik saja menghadapi tingkah ibunya yang pelacur?

Nanda menghela nafas berat. Tanpa menjawab apa pun, Nanda melangkahkan kakinya menjauh dari ruang keluarga. Menghilang dari balik pintu kayu coklat, kamar yang sudah lama tidak dia tiduri. Tya menghela nafas panjang. Dia sudah tahu, memperbaiki kesalahannya bertahun-tahun itu tidak mudah.

Nanda menyandarkan tubuhnya di pintu kayu coklat. Memikirkan kejadian aneh yang baru saja terjadi. Sudah lama dia tidak berbicara dengan ibunya. Dia bahkan sudah lupa kapan terakhir mereka bicara. Tahun lalu? Dua tahun lalu? Lima tahun lalu? Nanda tak bisa mengingatnya. Yang jelas itu sudah sangat lama.

[1/2] ALASANWhere stories live. Discover now