Bagian 4

16.7K 1.6K 12
                                    

Alya memandang Nanda lamat-lamat. Alya curiga, bagaimana anak seperti Nanda, yang bahkan tidak membawa tas ke sekolah, bisa naik ke kelas 11. Sekarang Nanda terlihat kikuk dihadapan selembar kertas berisi 20 soal uraian singkat tentang pelajaran geografi. Nanda pasti tahan banting jika mendapatkan hukuman fisik. Tapi, jika Nanda disuguhkan dengan selembar kertas ujian, Alya yakin, cowok itu tidak akan tahan.

Sudah hampir satu jam berlalu. Nanda akhirnya berdiri dan memberikan kertas putih itu pada Alya. Ada gurat kelelahan di wajah Nanda. Alya menerima kertas Nanda dan mengoreksi. Baru saja melihat jawaban nomor satu, Alya sudah menaikkan alis. Semakin bawah, jawabannya semakin ngelantur. Alya berusaha menahan tawanya. Tapi lama-lama Alya tidak tahan. Tawanya akhirnya meledak juga. Nanda mendengus kesal.

"Ngapain elo ketawa-ketawa, hah?!" bentak Nanda membungkam mulut Alya. Sejenak saja, kemudian Alra kembali tertawa.

"Lucu deh. Kamu sebenarnya anak ipa atau ips sih? Ini pelajaran geografi bukan biologi. Jawabanmu ini semua lebih cocok buat soal biologi," kata Alya setelah tawanya terhenti. Alya geleng-geleng kepala. Nanda hanya diam. Dia menatap Alya kesal. Alya memberikan kertas putih itu kembali pada Nanda.

"Benerin lagi," kata Alya. Nanda menyambarnya dengan kasar.

"Gue enggak ngerti apa-apa! Jahat banget sih elo!"

Alya tertawa kecil.

"Syukurlah kalau kamu tahu aku jahat. Tapi hari ini aku baik hati. Kamu boleh buka buku," kata Alya.

Nanda berdecak.

"Gue enggak punya buku!"

Alya tersenyum miring.

"Makanya ke sekolah bawa buku. Yaudah berarti kamu harus di sini terus sampai benar semua jawabannya dari otakmu," jawab Alya santai.

"Gue pinjem buku elo!"

"Aku anak ipa. Aku enggak punya buku geografi."

"Trus kenapa elo ngasih soal geografi? Elo ngarang kan ini?"

"Enak aja! Kemarin aku ke perpustakaan cari buku geografi buat bikin 20 soal itu."

Nanda berdecak kesal. Terpaksa dia kembali ke bangkunya dan memutar otak. Dia ingin segera enyah dari ruangan pengap ini. Baginya lebih baik di hukum berdiri di lapangan berjam-jam, berpanas-panasan, dibanding mengerjang soal di dalam ruangan. Sekalipun itu hanya 10 soal.

Dua jam berlalu, Nanda sama sekali belum menemukan titik pencerahan. Dari tadi yang dia lakukan hanyalah menggambar di kertas soal. Setidaknya ada hal yang membuat dirinya menjadi tidak stres.

Perutnya keroncongan. Sudah waktunya jam istirahat pertam. Seharusnya jam segini dia sudah ada di markas kecil belakang sekolah sambil menghisap rokok. Tapi nyatanya dia masih terjebak di ruanganan balok yang pengap. Dia melirik Alya.

Gadis itu tertidur.

Ada gurat kelelahan yang baru ini terlukis di wajah Alya. Gadis itu terlihat damai dalam tidurnya. Tidak ada wajah keras dan garang. Justru Alya terlihat anggun. Nanda menatap pipi putih Alya yang bengkak. Entah kenapa, ada sedikit perasaan bersalah muncul di hatinya melihat memar itu.

Nanda bangun dari tempatnya dan berjalan mendekati Alya. Dia menatap Alya lamat-lamat. Terutama pada pipinya yang bengkak. Tanpa sadar, tangannya bergerak. Berniat menyentuh pipi Alya.

Alya membuka matanya. Tangan Nanda langsung bergerak ke atas, pura-pura menggaruk kepalanya. Beruntung dia belum sempat menyentuh pipi Alya.

Alya mengerjakan matanya berkali-kali. Matanya berusaha menyesuaikan cahaya ruangan. Tidurnya sangat nyenyak, melebihi tidurnya tadi malam. Alya langsung menegakkan kepala saat menyadari situasi sedang berada di mana. Nanda menatapnya tajam.

"Eh kebo! Kuping lo enggak denger apa gue teriakan berkali-kali?" Nanda berdrama seolah-olah dia sudah membanggunkan Alya sejak tadi.

Alya mengucek matanya. "Masa sih? Aku enggak denger. Aku orangnya mudah dibangunin," komentar Alya sambil meregangkan kedua tangannya.

Nanda berdecak dan memutar bola matanya.

"Enggak peduli! Sini kuncinya, gue laper. Lo enggak boleh ngelarang gue makan karena itu hak gue. Kalo lo ngelarang, berarti lo udah ngerampas hak gue!" seru Nanda.

"Aduh! Kamu itu cerewet banget sih!" keluh Alya kesal.

"Mana kertasnya?"

Nanda memberikan kertas soalnya. Alya melongo melihatnya. Kemudian dia tertawa.

"Kamu bisanya apa sih? Suruh ngerjain soal enggak bisa, nggambar juga jelek. Mau jadi apa? Hahahahah..." sindir Alya. Nanda menyipitkan mata. Dia kembali merebut kertasnya.

"Makasih pujiannya!" balas Nanda ketus.

Tiba-tiba suara gemuruh kecil berbunyi. Suara gemuruh kelaparan dari perut Nanda. Alya kembali tertawa. Nanda berdecak kesal.

"Elo bisa enggak sih enggak usah ketawa? Suara elo itu jelek banget! Kayak tikus kejepit," sindir Nanda sarkas. Bukannya tersinggung, Alya hanya tersenyum. Dia merogoh sakunya dan memberikan sebuah kunci pada Nanda.

"Jangan telat lagi, kalau besok aku tahu, enggak akan ada toleransi. Meskipun besok istirahat kamu belum selesai, aku enggak akan mengijinkan kamu keluar."

Nanda tersenyum miring mendengar penjelasan Ayla.

"Oh ya? Kalo gitu mendingan besok gue bolos aja. Makasih loh udang ngasih tau rencananya."

Alya melipat tangan di depan dada dan mengedikkan bahu.

"Terserah. Kamu harus inget aja, kalau kamu sering enggak masuk, kamu bisa enggak naik kelas. Dan mungkin kamu bisa menjadi siswa abadi di sekolah ini," balas Alya santai.

"Yaudah!" ketus Nanda

Nanda berjalan menuju pintu dengan langkah panjang dan penuh emosi. Alya dari tempatnya hanya bisa geleng-geleng kepala saat Nanda membanting pintu. Alya menghela nafas panjang. Dia bangkit dan ikut keluar. Perutnya juga sudah berteriak sejak tadi.

***

Kantin terlihat penuh. Beruntung masih ada satu meja kosong di pojokan kantin. Alya membawa mangkuk baksonya ke sana. Belum sampai dia memasukkan suapan pertama, seseorang memanggilnya.

"ALYA!"

Alya menoleh. Seorang lelaki ganteng dengan bola basket di tangannya melambaikan tangan. Alya tersenyum dan membalas lambaian tangan laki-laki itu. Aldo, teman masa kecilnya, sekaligus kapten tim basket di sekolahnya.

Tidak ada yang pernah menyangka bahwa sosok laki-laki kecil yang tengil itu kini berubah menjadi sosok gagah dan tampan kecuali Alya. Hanya Alya yang mengerti tentang Aldo. Sejak SD-SMA, mereka selalu bersama.

Aldo menghampiri Alya. Dia duduk di hadapan Alya dengan keringat bersimbah deras sehabis bermain bakset. Alya menutup hidungnya.

"Bau! Ganti sana!" sindir Alya.

"Ya ampun, gue baru nyampe sini terus langsung elo usir gitu? Kasih minum kek, atau bakso gitu. Elo kan baik," rayu Aldo. Alya nyengir. Dia melepaskan tangannya dari hidung.

"Aku lagi laper! Beli sendiri sana," kata Alya. Dia melahap satu suap bakso, membuat Aldo yang melihatnya semakin kelaparan. Tapi begitu melihat suatu pemandangan tak enak di wajah Alya, nafsu makan Aldo langsung menghilang.

"Pipi elo kenapa?!"

Alya mendelik. Dia langsung menegakkan tubuh dan menutup pipi kirinya. Kemudian meringis.

"Enggak apa-apa."

Jantung Alya berdetak kencang. Seharusnya Aldo tidak boleh tahu tentang ini. Alya tidak ingin dan tidak pernah bisa berbohong pada Aldo. Aldo adalah sahabat baiknya. Orang yang selalu menjaganya sejak kecil. Dia sudah menganggap Aldo seperti abangnya sendiri.

Dan Alya yakin, Aldo akan marah besar, jika dia tahu apa yang sedang Alya kerjakan.

----

Jangan lupa vote dan komennya 😊😊😊

[1/2] ALASANWhere stories live. Discover now