Bagian 7

14.6K 1.5K 11
                                    

"Nanda pergi. Enggak ada kabar."

Alya terdiam. Minggu lalu Alya masih sempat melihatnya. Berdiri di luar lapangan. Namun saat itu, Alya yakin satu hal. Dan hari ini, Diaz dan Arya membuatkan tekadnya. Tatapan Nanda tempo hari itu, tatapan yang tidak pernah Alya lihat sama sekali. Bukan tatapan mengintimidasi. Bukan tatapan mengerikan. Tapi dari tatapan itu Alya tahu, Nanda sedang bersedih.

Setiap umat manusia bisa merasakan kesedihan. Sekalipun dia orang kejam, yang selalu senang berbuat onar.

Alya mendapatkan alamat rumah Nanda dari Diaz. Hari ini dia telah menetapkan niatnya untuk mengunjungi alamat yang terketik di notes di ponselnya. Biarpun nanti Aldo marah saat mengetahuinya, Alya tidak peduli. Hari ini dia harus menemui lelaki berandal itu.

***

Jadi disinilah Alya. Berdiri di depan rumah megah bak istana kerajaan. Sungguh Alya tidak pernah menyangka, lelaki yang berpenampilan seperti anak jalanan di sekolah, tidak pernah membawa tas ke sekolah, tinggal di bawah atap megah yang kokoh.

Alya menelan ludah. Dia menatap pagar hitam tinggi yang melindungi rumah megah bercat putih itu. Halamannya begitu luas dengan air mancur berbentuk lingkaran di tengahnya. Halamannya begitu bersih dan luas. Tapi Alra bisa merasakan suasana sepi dan aura buruk. Seperti tidak ada kenyamanan di dalamnya.

Dengan ragu dia menyentuh tombol putih bertuliskan 'BEL'. Tidak butuh waktu lama sampai seorang lelaki berkumis keluar dari pos satpam yang tidak jauh dari pagar. Umurnya sekitar 50 tahun. Terjahit di bed namanya tulisan 'RUDI'. Dia membukakan pagar. Satpam itu tersenyum.

"Mencari siapa, Neng, sore begini?"

"Anu, Pak, saya mau tanya. Apa benar ini rumahnya Nanda Aryo Saputro?"

Satpam itu terperangah saat mendengar nama Nanda di sebut. Mimik wajahnya langsung berubah serius.

"Iya betul. Neng ini siapa nya?"

"Saya, Alya, temannya Nanda. Saya boleh ketemu Nandanya, Pak?" tanya Alya sopan.

Satpam itu tidak segera menjawab. Wajahnya menjadi lebih serius. Satpam Rudi menghela nafas panjang. Alya bekerut heran. Ada yang tidak beres.

"Den Nanda belum pulang sejak dua hari yang lalu, Neng Alya."

Alya mendelik. Dia kaget. Nanda belum pulang? Lelaki itu saja tidak pernah datang ke sekolah satu minggu ini. Jadi ke mana Nanda pergi?

"Belum pulang, Pak?!"

"Iya, Neng. Saya juga enggak tahu ke mana dia pergi."

"Memangnya orangtuanya enggak nyari, Pak?" tanya Alya heran.

Satpam Rudi terdiam. Alya jadi ikut diam. Sejenak suasana hening. Satpam Rudi berdeham.

"Orangtua Nanda enggak pernah peduli pada Nanda. Saya tidak tahu, apa mereka tahu jika Nanda belum pulang. Tapi dua hari ini, mereka terlihat santai-santai saja, tidak menanyakan tentang Nanda."

Jawaban itu menohok hati Alya. Setitik pencerahan mulai muncul. Alya mulai mengerti permasalahanya. Dia harus segera menggali lebih dalam lagi. Sebelum Nanda terlanjur benar-benar tidak bisa dibenahi.

Alya menatap lelaki berseragam satpam itu yakin.

"Pak, boleh saya tahu tentang Nanda?"

***

Saat itu hujan deras mengguyur suasana malam ibu kota Indonesia. Tidak banyak orang senang saat itu. Sebagian besar mengeluh dan menyumpah-nyumpahi hujan deras yang turun secara tiba-tiba. Tapi berbeda di suatu tempat, kamar rumah sakit. Seorang bayi mungil baru saja lahir dan menangis keras.

Namanya, Nanda Aryo Saputro.

Wajahnya begitu polos. Tidak ada dosa. Kedua orangtuanya tersenyum bahagia. Melihat anak yang ditunggu-tunggu 9 bulan, akhirnya lahir juga. Saat itu, tidak ada hal yang lebih bahagia, dibandingkan dengan kelahiran sosok bayi laki-laki itu.

Namun, itu hanya berjalan beberapa tahun.

Semakin tahun, dunia semakin berubah. Pada akhirnya dunia akan memperbudak manusia-manusia yang terlalu terlena. Perkerjaan proyek bernilai berjuta-juta, bahkan bermilyaran rupiah, membuat kedua sosok orangtua Nanda berubah 180 derajat.

Tidak ada lagi kasih sayang yang bisa diberikan. Mereka terlalu asyik dengan lembaran kertas, laptop di pangkuan, dan ponsel di genggaman masing-masing. Sosok mungil Nanda, semakin hari tumbuh semakin besar. Kini dia hanya bisa menatap bingung sikap kedua orangtuanya. Berangkat pagi, pulang malam, kadang pun pagi. Nanda sering ketiduran di ruang keluarga, hanya untuk menunggu sosok kedua orangtuanya pulang. Berharap mereka bisa berkumpul dan bersenang-senang seperti dulu. Tapi saat Nanda terbangun, dia sudah melihat kedua orangtuanya berpakaian rapi. Tanpa berkata apa pun, mereka pergi kembali. Nanda kecewa.

Bagaimana bisa? Mereka pulang saat dirinya tidur dan kemudian pergi lagi saat dirinya masih tidur?

Waktu terlalu singkat.

Semakin hari, bertambah bulan, dan kemudian berganti tahun. Kehidupan di dalam rumah megah bak istana telah berubah 100 persen. Nanda tumbuh menjadi anak laki-laki pemurung. Kedua orangtuanya tidak pernah peduli lagi padanya. Hanya sesekali, saat Nanda sakit. Itu pun tidak berdua langsung. Sekarang tidak ada pernah kata kumpul bersama kedua orangtuanya dalam kamus kehidupan Nanda.

Hingga pada suatu hari, cahaya cinta kedua orangtuanya ikut padam. Tanpa ada kata cerai, tanpa ada yang bilang ingin pisah, mereka berdua punya sosok seseorang yang lain. Yang katanya mereka lebih cintai lebih dari pasangan pernikahan mereka sekarang. Semakin dewasa, Nanda sudah tahu situasinya. Omong kosong, Nanda tahu itu. Itu hanya pelampiasan nafsu saja.

Sekarang telah tergali lubang besar di hatinya, yang membuatnya menjadi sosok keras kepala dan nakal. Tidak ada yang menyukainya. Sejak SMP, Nanda selalu berbuat ulah. Mengejek teman-temannya, berbuat onar, berkelahi, merokok, tawuran, dan yang paling parah, Nanda pernah mencoba Narkoba.

Tidak pernah ada yang tahu penderitaan yang selama ini dia alami. Dia selalu menutup diri dari pergaulan. Bahkan setelah mendapatkan dua teman yang tidak beda jauh dengan sikapnya, Nanda tidak pernah cerita. Nanda selalu menyembunyikan semuanya dengan tabiat nakalnya.

Nanda selalu jahat, tapi tidak pada dua orang. Dua orang yang selalu menjaganya. Justru Nanda sangat menghormatinya.

***

Alya terdiam cukup lama saat Pak Rudi telah menyelesaikan ceritanya. Alya mendengar cerita panjang Pak Rudi tentang Nanda, di dalam ruangan kubus kecil, bertuliskan pos satpam di depannya.

"Bapak sangat mengetahui Nanda, kenapa bisa begitu?" tanya Alya heran.

Pak Rudi tersenyum.

"Hanya dua orang yang sangat dihormati Nanda. Saya dan Bi Ijah, salah satu pembantu di rumah ini. Kami yang mengurus Nanda sejak kecil."

Pak Rudi menghela nafas panjang. Senyumnya pudar. Diganti dengan wajah berkerut. Ada kesedihan di matanya.

"Nanda yang cerita pada saya, kalau dia pernah memakai narkoba. Bi Ijah yang selalu mengobati Nanda setelah Nanda pulang dari tawuran. Dia hanya terbuka pada kami. Seolah kami ini orangtuanya."

Alya tertegun. Dia tidak kaget jika Nanda memang punya masalah dengn keluarganya. Alya sudah bisa menebaknya. Nanda pasti punya alasan di balik sikap brutalnya. Namun untuk masalah yang terkahir, Alya tidak percaya.

Seorang Nanda, yang begitu nakal dan brutalnya, ternyata bisa menghargai seorang satpam dan pembantu rumahnya.

-------

Jangan lupa vote dan komennya 😊😊😊

[1/2] ALASANWhere stories live. Discover now