Bagian 23

12.6K 1.2K 19
                                    

Minggu pagi yang cerah. Aldo sedang memperhatikan selebaran yang tiba-tiba muncul di depan rumahnya. Berbarengan dengan sebuah surat dengan inisial N. Ini sudah dua hari berlalu sejak perang dingin antara Aldo dan Nanda.

Aldo berdecak. Dia meremas surat itu dan membuangnya ke tong sampah. Sedangkan selebaran itu dibiarkan begitu saja di atas nakas. Kemudian dia bangun dari kasurnya dan pergi ke luar kamar.

Tidak peduli sama sekali.

***

Temui gue di tempat favorit elo. Jam 3 sore tepat, gue tunggu.

Sebaris pesan mendadak dari Nanda membuat Alya mengerutkan kening. Dia melirik jam. Pukul 1 siang. Alya kembali menatap ponsel bututnya.

Untuk apa Nanda mengajaknya bertemu?

Alya menghela nafas. Dia meletakkan ponselnya di atas meja belajar, sedangkan ia duduk di kursi belajar. Dia menatap nama sang pengirim pesan tadi, NANDA. Alya tersenyum samar.

Dia tahu Nanda tidak sejahat yang orang lain lihat. Bahkan sejak awal sebelum Nanda menjadi tanggung jawabnya, Alya sudah tahu bahwa Nanda memang bukan orang jahat. Hanya ada alasan yang membuat kepribadiannya menjadi seperti itu. Dan sekarang Alya juga sudah tahu alasan itu.

Alya melirik kalender yang tergantung di tembok dekat meja belajarnya. Kurang setengah perjalanan lagi, sebelum naik ke kelas 12. Alya yakin itu adalah waktu yang sudah sangat cukup. Untuk menyelesaikan urusan Nanda dan sekolah.

Pukul tiga sore, Alya berangkat menuju tempat favoritnya, yang hanya dia dan Nanda yang tahu. Hanya dalam waktu lima menit, gadis itu sudah sampai di sana. Lebih cepat dari biasanya. Entah bagaimana Alya bisa mengayuh sepeda secepat itu tanpa ngos-ngosan. Mungkin dia ingin segera bertemu Nanda.

Alya melihat seorang lelaki berkemeja merah kotak-kotak sedang duduk di atas rerumputan. Memandang jalanan kota Jakarta yang macet di Minggu sore. Alya berdehem. Lelaki itu menoleh. Alya menelan ludah.

Nanda jauh berbeda dari yang biasanya. Kali ini dia tampil rapi dengan kemeja dan celana jeans, membuatnya jadi terlihat keren. Rambut hitamnya disisir rapi, menampilkan wajah ganteng yang selama ini hampir tidak pernah terlihat. Mata hitamnya berbinar, bermandikan sinar mentari sore. Dan yang paling penting lelaki itu tersenyum. Senyuman yang sangat hangat bagi Alya.

Orang-orang tak akan tahu bahwa lelaki itu dulu adalah berandalan sekolah, yang hobi bertengkar dan pakai narkoba.

Mendadak jantung Alya berdetak kencang.

"Hei," sapa Nanda ramah.

Alya tersenyum gugup.

"Hai," balasnya kaku.

Dia berjalan mendekat, berdiri beberapa langkah di belakang Nanda. Alya menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya. Berusaha mengatur kembali detak jantungnya yang tiba-tiba melebihi ritme.

"Sore yang indah ya..."

Alya bergumam, mengiyakan.

"Lo mau sekolah di luar negri, Al?" tanya Nanda tiba-tiba.

Alya sedikit kaget mendengar pertanyaan Nanda yang tiba-tiba itu.

Alya mengedikkan bahu.

"Entahlah, Nanda. Antara mau atau enggak," jawab Alya.

Nanda mengangguk samar. Suasana hening sejenak diantara mereka. Hanya terdengar kicauan burung dan suara samar-samar kesibukan manusia di sore hari dari bawah sana.
Alya melirik Nanda. Lelaki itu diam masih menatap padatnya jalan lalu lintas.

"Makasih, Alya," katanya memecah keheningan.

"Buat?"

"Semuanya. Gue enggak ngerti kalau enggak ada elo hidup gue jadi seburuk apa hari ini,"

Nanda memberi jeda.

"Semuanya udah baik-baik aja, Alya. Ibu gue sudah baikan. Urusan keluarga gue juga sebentar lagi akan selesai. Dan gue akan sekolah seperti biasanya. Gue juga udah bilang ke BK tentang masalah elo dan kepala sekolah. Gue bilang pekerjaan elo sudah selesai. Elo enggak akan dikeluarkan dari sekolah," cerita Nanda panjang lebar.

Alya terdiam. Entah kenapa ketika dia mendengar kata 'sudah selesai' ada perasaan sedih dihatinya, di samping perasaan bahagia. Bahagianya tidak sempurna.

"Tapi kita tetep bisa temenan di sekolah, kan?" tanya Alya.

Ini pertama kalinya Alya memohon pertemanan dengan seorang cowok. Walaupun secara tersirat. Dia tidak pernah sekali pun berteman dekat, bahkan mengatakan 'kita temen' ke cowok kecuali pada Aldo. Itu pun Aldo yang mulai bilang.

Nanda menatap Alya lama, membuat Alya jadi agak salah tingkah. Nanda menahan tawa melihat Alya. Tapi dia sembunyikan dengan tersenyum.

"Pasti."

Alya menatap Nanda. Kemudian dia tersenyum.

"Alya, tutup mata!" kata Nanda tiba-tiba.

"Eh?"

"Sudah tutup aja, gue enggak macem-macem kok," kata Nanda lagi.

Alya menatap Nanda bingung. Tapi kemudian dia menutup mata. Nanda merogoh sesuatu dari saku celananya. Dia mendekat kepada Alya. Alya harus kembali bersusah payah mengontrol detak jantungnya saat mencium bau maskulin Nanda.

"Selesai."

Alya membuka mata. Dia merasakan sesuatu dingin menyentuh lehernya. Alya melirik lehernya. Sebuah kalung perak cantik dengan bandul gembok berbentuk hati menggantung indah di lehernya. Alya terperangah. Dia menatap Nanda tak percaya. Nanda tertawa kecil.

"Kalung itu enggak ada kuncinya. Jangan narik-narik kalungnya sampai lepas ya," kata Nanda memperingatkan.

Alya tidak peduli mau ada kuncinya atau tidak, dia sangat suka dengan kalung ini. Dari dulu dia selalu menginginkan sebuah kalung. Tapi tidak pernah kejadian.

"Elo suka?"

"Suka! Suka banget!" seru Alya.

Nanda tersenyum melihat tingkah Alya yang girang. Dia tidak pernah melihat Alya yang segirang ini. Tapi kemudian senyumannya segera pudar. Diganti dengan wajah mendung.

Apapun yang terjadi dia harus mengucapkannya sekarang.

"Itu kenang-kenangan dari gue."

Alya mengangkat kepala dan menatap Nanda heran.

"Kenang-kenangan?"

Nanda menoleh. Menatap Alya lamat-lamat.

"Gue harus pergi, Alya. Jauh dari Jakarta."

------

Jangan lupa vote dan komennya ☺☺☺

[1/2] ALASANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang