Bagian 20

12K 1.2K 10
                                    

Nanda tiduran di atas ranjangnya. Dia memakai kemeja putih dan celana hitam yang disiapkan ibunya. Kemeja putih itu terlihat pas di tubuhnya. Dia tidak jadi kabur. Di luar, hujan memukul keras jendela kamarnya. Nanda menatap kertas lusuh yang tadi dia buang ke tong sampah. Nanda menghela nafas panjang.

Apa yang sedang ibunya lakukan di luar sekarang?

PRANG!

Suara pecahan kaca membuat Nanda terkejut. Dia setengah bangun dari tidurnya dan menatap pintu kayu kamarnya. Sama-samar dia mendengar pembantunya memekik kata 'Nyonya'.

"Mama!"

Nanda buru-buru bangkit dan keluar kamar. Dia berlari menuju dapur. Nanda terperangah saat melihat tubuh ibunya terkulai lemas di lantai dapur. Di sampingnya, Bi Ijah sibuk memunguti pecahan piring kaca. Bi Ijah kaget melihat kehadiran Nanda. Dia belum tahu kalau Nanda sudah pulang.

"Den Nanda?!"

Nanda mengabaikan seruan itu. Nanda langsung mengangkat tubuh ibunya.

"Bantu saya ambil kotak obat, Bi," pinta Nanda.

Nanda menidurkan ibunya di sofa ruang keluarga. Ibunya menggigil dan wajahnya sangat pucat. Nanda menyentuh dahi ibunya. Panas. Bi Ijah datang membawa sekotak obat-obatan.

"Nanda..." suara serak ibunya membuat Nanda menoleh.

"Mama enggak apa? Nanda ambil obat dulu," bisik Nanda lembut.

Tya menatap anak sematawayangnya pasrah. Tubuhnya terlalu lemah untuk bergerak.

"Bi, tolong ambilkan air hangat," pinta Nanda lagi.

Nanda mencari obat demam di dalam kotak. Namun tidak ada. Tidak ada satu pun obat demam di sana. Nanda mengerang. Nanda menoleh menatap ibunya lagi.

"Ma, Nanda beli obat dulu ya. Mama tunggu sebentar."

Tya menggeleng. "Mama enggak apa kok. Cuma butuh istirahat aja," kata Tya dengan suara serak.

Nanda menggeleng. "Engga, Ma. Nanda cepat."

Nanda bangkit dan menyambar jaket serta kunci motornya. Bi Ijah muncul dengan segelas air hangat.

"Bi, titip mama sebentar. Saya mau beli obat," kata Nanda.

Bi Ijah mengangguk. Nanda segera keluar rumah. Beruntung hujan sudah mereda. Hanya sisa rintik-rintik ringan. Itu tidak jadi masalah. Nanda segera menyalakan motornya dan pergi. Satu apotek yang dia tahu, apotek dekat sekolahnya.

Tidak butuh waktu lama bagi Nanda untuk sampai di apotek yang buka 24 jam itu. Nanda terkejut saat melihat seseorang yang dia kenal baru saja keluar dari apotek.

"Alya."

Gadis itu juga kaget.

"Ngapain elo di sini?"

"Beli obat demam. Eh aku duluan ya," kata Alya segera pamit.

Nanda terdiam sebentar. Tiba-tiba tangannya bergerak refleks menghentikan Alya. Alya menoleh.

"Gue mau ngomong sesuatu..."

Alya menatapnya lamat-lamat. Tanpa Nanda duga, Alya melepaskan genggamannya.

"Maaf, Nanda. Jangan sekarang. Lain waktu nanti aku hubungi kamu," katanya buru-buru. Kemudian tubuh gadis itu menghilang di belokan.

Nanda diam. Dadanya terasa sesak. Tentu dia harus tahu, tidak selamanya Alya akan selalu ada untuknya. Alya juga punya kesibukan yang lain. Kali ini, dia bukan hal utama untuk Alya.

Nanda menghela nafas panjang. Dia buru-buru masuk ke apotek dan membeli obat demam. Dia jadi ingat perkataan Alya tadi. Alya juga membeli obat demam. Nanda berpikir untuk siapa gadis itu membeli obat demam. Sang apoteker datang membawa pesanan obat dan membuyarkan pikiran Nanda. Nanda membayarnya. Dia harus segera kembali ke rumah.

Nanda lebih cepat sampai ke rumah daeipada waktu dia pergi. Tanpa melepas sepatunya, dia langsung membuka pintu dan masuk.

"Mama, ini obat...."

Perkataan Nanda terhenti saat melihat tubuh ibunya terkulai lemas di lantai. Kepalanya berada di pangkuan Bi Ijah. Hidungnya berdarah.

Jantung Nanda seakan berhenti berdetak.

"Saya baru saja mau ambil selimut dan tiba-tiba nyonya sudah jadi seperti ini," kata Bi Ijah terisak.

Kresek putih yang dibawa Nanda terjatuh. Sia-sia sudah obat itu. Ibunya sudah lebih dulu menjadi parah. Mata Nanda berkaca-kaca. Dia merogoh ponselnya dan menelepon seseorang.

"Halo, ada pasien di sini."

***

Suara sirine ambulan memecah kesunyian di salah satu jalan lengang di ibu kota. Nanda menatap wajah pucat ibunya yang terbaring lemas di kasur rumah sakit. Nanda mengenggam tangan ibunya.

"Mama kenapa?"

Suara Nanda sangat lirih. Nyaris tidak terdengar. Suster yang duduk di belakang, yang bertugas menemani pasien, menatap iba Nanda.

"Yang sabar, Dek. Sebentar lagi sampai," kata sang suster berusaha menangkan Nanda.

Nanda hanya diam. Dia sedang tidak ingin ditenangkan. Dan memang tidak ada yang bisa menenangkannya. Kecuali ibunya sendiri yang menenangkannya.

Lima menit kemudian, ambulan itu sudah berhenti di depan ruangan bertuliskan UGD. Seorang perawat laki-laki membuka pintu belakang dan membantu menurunkan kasur tempat Tya terbaring.

Nanda menatap lemas tubuh ibunya yang kini sedang dipindahkan ke atas kasur rumah sakit yang lain. Seorang suster menyuruh Nanda menunggu di luar, selagi sang dokter memeriksa ibunya. Nanda pasrah. Dia duduk di salah satu kursi tunggu di ruang UGD. Menatap sebuah tirai putih yang tertutup, tempat ibunya diperiksa.

Nanda tidak bisa tenang. Pikirannya kalut. Masa bodoh kalau selama ini ibunya tidak memperhatikannya. Sebelum itu, Nanda sudah punya kenangan manis bersama ibunya.  Tapi hari ini, ketika ibunya telah kembali seperti semula, Nanda malah mengabaikannya. Nanda merutuki dirinya sendiri. Andai saat itu dia tidak egois, dia mungkin sekarang ada di rumah. Makan malam damai dengan ayam kecap kesukannya bersama ibunya. Namun apa daya. Takdir tidak berkata seperti itu.

Lima belas menit berlalu, tirai putih itu akhirnya terbuka. Nanda berdiri. Sang dokter menghampirinya.

"Anda siapanya?" tanya sang dokter.

"Saya....anaknya," jawab Nanda lirih.

Sang dokter menghela nafas panjang.

"Ibu Anda baik-baik saja. Hanya kelelahan. Tekanan darahnya rendah dan pencernaannya terganggu. Saya rasa ibu Anda terlalu larut bekerja sampai lupa diri," kata sang dokter menjelaskan.

Nanda menghela nafas lega. Setidaknya itu lebih baik dari apa yang dia bayangkan.

"Di mana suaminya?" tanya sang dokter lagi.

Nanda terdiam. Tapi kemudian dia menjawab, "Sibuk."

Sang dokter mengangguk-anggukan kepalanya.

"Meskipun baik-baik saja, tapi ibu Anda harus bed rest di rumah sakit. Apa Anda baik-baik saja?"

Mata Nanda yang berkaca-kaca menatap sang dokter yakin.

"Lakukan apa saja, Dok. Yang penting ibu saya bisa sembuh segera."

------

Jangan lupa vote dan komennya 😊😊😊




[1/2] ALASANWhere stories live. Discover now