Bagian 9

14.2K 1.4K 7
                                    

"Karena gue yakin, elo juga punya alasan di balik ini."

Alya terdiam. Tapi kemudian tersenyum.

"Aku akan cerita setelah kamu yang cerita."

Nanda menyipitkan mata. Menatap curiga Alya. Tapi kemudian dia menyandarkan tubuhnya ke batang pohon dan menghela nafas panjang. Entah ada apa dengan dirinya, seolah malam ini dia mempercayai Alya sepenuhnya. Dia tidak ingin menolak permintaan Alya. Tapi dia bingung harus bagaimana dia bercerita.

Ceritanya terlalu rumit.

"Awalnya semuanya baik-baik aja," Nanda memulai ceritanya.

"Sampai akhirnya kedua orangtua gue dapet sebuah proyek bermilyar-milyar rupiah. Mereka lupa dengan gue."

Nanda terdiam sejenak. Sengaja, dia mempersingkat ceritanya. Karena bukan hal itu yang menancap di hatinya. Ada hal yang lainnya.

"Gue enggak terlalu masalah dengan itu. Okelah mereka sibuk. Gak ada waktu bareng. Tapi..."

Suara Nanda tertahan. Tenggorokannya tercekat. Dia mendongakkan kepala. Matanya berkaca-kaca.

"Mereka selalu pulang dengan pasangan yang berbeda. Papaku selalu cewek lain. Bukan hanya satu, kadang tiga. Mamaku juga pulang sama cowok lain. Apa mereka lupa?! Mereka masih sah dalam pernikahan!! Apa mereka lupa?! Mereka juga punya anak?!"

Suara Nanda bergetar. Dia tidak membentak. Dia tidak menjerit marah. Tapi malam ini dia menangis. Untuk pertama kalinya, Nanda menangisi keadaannya. Sejujurnya dia tidak pernah tahan dengan kehidupannya. Dia menyaksikan sendiri dengan matanya, bagaiamana tingkah ayahnya di rumah. Juga ibunya. Dan setiap kali dia muncul, kedua orangtuanya hanya menganggapnya seperti angin lewat. Tidak peduli. Tidak ingin tahu tentang keadaannya.

Nanda menundukkan kepalanya. Terisak. Alya tertegun. Baru kali ini dia melihat Nanda begitu menderita. Ada hal yang berbeda, mendengar ceritanya langsung dari Nanda, daripada mendengarnya dari mulut orang lain. Karena di cerita ini, Nanda yang jadi tokoh utamanya.

Alya berdiri. Menghampiri Nanda. Dia merangkul bahu Nanda. Nanda tidak menolak. Lelaki itu justru semakin menangis keras di dalam dekapan Alya.

"Gue kerja, kerja supaya gue bisa melupakan semuanya. Tapi percuma aja! Setiap kali gue pulang, yang gue lihat wajah mereka sama orang lain! Gue muak!" 

Nanda terlihat lemah malam ini. Tidak seperti biasanya tampil menyeramkan di sekolah. Malam ini dia terlihat seperti anak kecil yang rapuh. 

"Lo jahat. Lo jahat. Ini enggak adil. Kenapa lo tiba-tiba hadir di hidup gue, membuat gue jadi kayak gini. Kenapa gue harus cerita ke lo?!"

Nanda terisak menyalahkan Alya. Namun Nanda tidak melawan. Alya tersenyum.

"Kamu hanya perlu bercerita, Nanda. Setelah ini kamu pasti lega."

Nanda tidak menjawab. Alya benar tentang itu. Sekarang, perasaannya menjadi lebih lega.

Saat itu malam yang sibuk.Di tengah lalu lintas yang penuh suara teriakan-teriakan marah para pengendara, hanya taman kota yang terasa damai.

***

Sudah setengah jam Alya berdiri di depan gerbang sekolah. Menunggu satu sosok tengil yang biasanya terlambat masuk sekolah. Sudah satu minggu sosok itu tidak masuk, dan kemarin malam Alya tahu alasannya. Padahal kemarin Alya sudah menyuruh cowok itu masuk. Karena ada satu janji yang belum Alya lakukan. Cerita tentang dirinya. Dia hanya akan cerita pada Nanda, kalau cowok itu masuk ke sekolah. Nyatanya, sampai sekarang Nanda belum juga menampakkan batang hidungya. 

[1/2] ALASANWhere stories live. Discover now