Bagian 5

16.1K 1.6K 7
                                    

Tatapan menyelidik sekaligus tajam membuat jantung Alya semakin berdetak kencang. Aldo menghela nafas.

"Alya, gue tahu elo bohong. Gue kenal sama elo sejak kelas 1 SD, dan elo enggak pecaya sama gue buat cerita?" tanya Aldo.

Alya menunduk kecewa. Selalu itu yang Aldo katakan jika dia tidak ingin bercerita. Membuat perasaannya bersalah. Bukannya dia tidak mau bercerita. Tapi dia tidak ingin membuat Aldo repot. Tidak ada yang tahu perubahaan dirinya kecuali Aldo. Hanya Aldo yang tahu. Mulai dari gadis cenggeng sampai dia sekarang bisa menjadi wakil ketua OSIS. Aldo selalu membantunya. Dia tidak ingin kembali merepotkan laki-laki itu.

Aldo tahu tentang itu. Aldo tahu Alya selalu berusaha menyembunyikan masalahnya beberapa akhir ini. Aldo sengaja tidak pernah mengorek informasi lebih dalam. Selama gadis itu tidak terjadi apa-apa, dia tidak akan mempermasalahkannya. Alya telah dewasa, tidak seperti dulu yang selalu mengadu padanya setiap ada masalah. Alya telah jadi gadis yang kuat. Tapi walaupun begitu, dia harus tetap menjaga Alya. Dan jika Alya kenapa-kenapa, dia tidak bisa tinggal diam.

"Bukannya aku enggak mau cerita, tapi..."

Alya menggigit bibir bawahnya. Dia sudah cukup takut mengingat bagaiaman ekspresi Aldo yang marah. Dan Alya tidak ingin kembali membangkitkan itu. Tapi...

"Ini bekas tamparan," kata Alya sangat pelan. Alya memejamkan mata, tidak berani melihat Aldo.

Aldo mendelik.

"APA?!"

Seantero kantin langsung hening dan menatap Aldo dan Alya. Alya meringis. Dugannya terjadi. Namun Aldo tidak peduli. Mau satu sekolah melihatnya, Aldo tidak peduli kalau sudah menyangkut masalah Alya.

Aldo bangun dan langsung menarik tangan Alya. Alya hanya pasrah. Aldo membawanya ke UKS.

"Ini pasti belum elo obatin?"

Alya menggeleng. Aldo mengambil mangkuk dan handuk kecil. Dia mengisinya dengan air. Alya hanya duduk di kasur UKS sambil memandang Aldo yang terlihat sibuk.

"Ini enggak apa-apa kok, Aldo. Paling besok juga sembuh," kata Alya.

"Enggak apa-apa gimana?! Itu pipi kamu memar sampe kayak gitu!" bentak Aldo.

Alya langsung mengatupkan mulutnya. Aldo menghela nafas panjang. Dia membawa kompresan itu kepada Alya. Dia memeras handuk kecil yang basah, kemudian melipatnya menjadi lebih kecil. Dia menaruh handuk basah itu di pipi Alya pelan-pelan. Alya meringis. Alya memegang handuk kecil itu agar tidak jatuh.

"Makasih," kata Alya lirih. Aldo menatap Alya iba.

"Ayah elo mulai lagi ya?"

Alya terdiam sebentar. Bingung harus berkata apa. Apakah harus bohong atau jujur. Tapi perasaannya berkata, bahwa dia harus jujur.

"Ini bukan itu aja," kata Alya.

"Maksudnya?" tanya Aldo heran.

"Kamu tahu Nanda?"

Aldo berpikir sejenak. "Nanda yang berandalan itu?"

Alya mengangguk.

"Kenapa?" Aldo kembali bertanya.

"Kepala sekolah bilang, beliau akan mencabut beasiswaku kalau aku enggak bisa merubah sikap Nanda sampai akhir kelas 11 ini."

Aldo kaget. Dia menggeram.

"Seenaknya aja dia! Mentang-mentang kepala sekolah bisa kayak gitu! Punya sekolah aja bukan!" sindir Aldo kesal. Dia menoleh pada Alya.

"Terus elo setuju?"

[1/2] ALASANWhere stories live. Discover now