Amare #11

1K 230 3
                                    

Pastikan kamu sudah vote sebelum membaca, dan comment setelah membaca😉

🍂🍂🍂

Chapter 11 - Merasa Bersalah

*

Every hello just means goodbye.

🍂🍂🍂

MERASA bersalah. Dilla benar-benar merasa bersalah sekarang.

Harusnya tadi gue buka pintu perpus lebih hati-hati, batin Dilla sambil menggigit bibir bawahnya karena khawatir.

Sekarang Dilla sedang duduk ditempat duduk yang tersedia dikoridor rumah sakit itu. Tiba-tiba, pintu ruangan yang menjadi tempat Evan diperiksa terbuka.

  "Dok, gimana keadaan Evan?" tanya Dilla sambil buru-buru menghampiri dokter baru selesai memeriksa Evan.

  "Anda keluarganya?" tanya Dokter itu sambil membenarkan letak kaca matanya.

  Dilla menggeleng. "Saya temannya. Tapi saya baru saja menelfon keluarganya."

  Dokter itu berdehem pelan. "Pasien dalam keadaan baik-baik saja," ucap dokter itu yang sukses membuat Dilla menghembuskan napas lega.

  "Alhamdulillah."

  "Tapi, apa dia baru saja terbentur, atau jatuh?"

  Jantung Dilla kembali berdegup kencang, lalu mengangguk pelan.

  "Iya"

  Dokter itu mengangguk paham. "Sejauh ini, belum ada masalah. Tapi pasien harus tetap dijaga pola makan dan istirahatnya. Perbannya sudah saya ganti. Sekarang kamu bisa menjenguknya. Pasien sudah sadar."

  "Terima kasih, Dok." Dilla tersenyum tulus. Untung saja tidak terjadi apa-apa pada Evan.

  Dokter itu mengangguk, lalu pergi meninggalkan Dilla sendiri.

  "Kok orang tuanya gak dateng-dateng ya?" gumam Dilla sambil mengecek jam tangannya yang sudah menunjukkan angka enam. Padahal suster sudah menghubungi orang tua Evan sebelum menelfonnya.

  Pelan-pelan, Dilla menghampiri Evan yang sedang memejamkan matanya sambil memijit pelipisnya.

  "Lo gak apa-apa?" tanya Dilla pelan.

  Evan mengerjap pelan, lalu menatap Dilla.

  "Eh, elo Dill. Lo jenguk gue?"

  "Menurut lo?"

  "Iya. Lo jenguk gue. Kenapa?"

  "Kok lo tanya kenapa? Gue panik, bego."

"Lo panik karena gue nabrak tiang? Seriously, huh?" tanya Evan sambil menaikkan sebelah alisnya.

"Tadi kepala lo kebentur pintu gara-gara gue," ucap Dilla.

"Then?"

"Ya gue kira lo mau berhenti di pinggir jalan gara-gara pusing. Tadi kan lo baru aja kebentur pintu."

Evan tertawa, tentu saja membuat Dilla mendelik kearahnya.

"Gue nabrak tiang bukan karena lo, Dill. Nyokap gue telfon, terus gue mau ke pinggir jalan, karena HP gue geter, gue gak konsen, terus nabrak deh," jelas Evan.

Mendengar penjelasan dari Evan, Dilla mendengus, lalu mengecek jam tangannya.

"Lo kenapa gak bilang dari tadi sih? Tau gitu gue gak usah panik terus nungguin lo disini," ucap Dilla ketus.

"Gue kan tadi pingsan, pinter. Masa iya orang pingsan bakal ngomong 'lo pulang aja sono! Ini bukan salah lo,' gitu?"

Dilla memutar bola matanya malas. Sungguh, ia benar-benar menyesal membuang waktunya untuk Evan.

"Gue pulang dulu," ucap Dilla.

Sebelum Dilla melangkah lebih jauh, Evan memanggilnya.

"Dill."

"Apa?"

"Afterall, thanks ya, lo udah nolongin gue."

Dilla tersenyum tipis. "Sama-sama," sahutnya pelan, setelah itu berjalan keluar dari ruang rawat Evan.

Drrrttt.. Drrrttt..

Merasakan ponselnya yang bergetar, cewek itu langsung menekan tombol answer.

"Halo."

"Dill, besok pulang sekolah, ketemu di foodies."

"Dih, ngapain?" tanya Dilla ketus saat mendengar Raffael mengajaknya ketemuan seenak jidatnya.

"Lo lupa, atau pura-pura lupa? Tadi kita gak jadi belajar. Jadinya diganti besok," jawab Raffael.

"Iya, gue inget. Tergantung mood gue."

"Okay. Hope you'll get better tomorrow, see you!"

Tut.

Dilla menatap layar ponselnya dengan tatapan kesal. Setelah memasukkan kembali ponselnya kedalam tasnya, Dilla pun kembali menuju rumahnya.

🍂🍂🍂

Amare [ALS #1] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang