Chapter I

74.4K 6.7K 119
                                    

"Jenn,"

Kudongakkan kepala kepada sumber suara berat dalam yang kukenali dengan sangat baik. Mas Chandra, arsitek senior kami berdiri di depan mejaku.

"Ya, Mas?"

"Load kamu, bulan ini bagaimana?"

Kutatap dia sejenak, lalu beralih pada selembar kertas yang dia pegang. Meski ingat di luar kepala bahwa saat ini aku sedang mengerjakan renovasi kamar anak gadis Ibu Praharsini, desain ruang apotek milik sebuah klinik kecantikan, rumah baru pasangan ekspat dari Belanda, dan re-branding desain sebuah coffeeshop yang beralih kepemilikan... tetap saja kutarik plannerku dari bawah tumpukan brosur sampel warna cat dan penawaran furnitur.

Kubacakan daftarku kepada Mas Chandra,

"Tambah satu lagi masih sanggup, kan?" tanyanya begitu aku selesai.

Kucemberuti duda gres yang entah kenapa justru terlihat semakin menawan setelah surat cerai resminya dia kantongi sekitar lima bulan lalu.

"Kenapa nggak ke Tantri saja?"

Dia menggeleng. "Ini sebenarnya jatahnya si Tantri, tapi dia nggak bisa handle,"

"Kenapa?"

Dia mengerutkan dahi, "Mamanya mesti terapi bulan ini, dia bilang,"

Oh, astaga. Aku baru ingat beberapa hari lalu dia sempat mengatakan harus mendampingi mamanya menjalani sesi kemoterapi lagi bulan ini.

"Gimana, bisa kan?"

"Proyek apa sih, Mas?" tanyaku kemudian.

Mas Chandra mengulurkan kertas yang dipegangnya. "Renovasi apartemen,"

"Baru?"

Dia mengangguk.

"Tantri sudah survei apa belum, ya?" gumamku sambil meneliti nama dan alamat calon klienku itu.

"Belum. Kemarin baru bertemu di sini, sepertinya mereka belum ketemu jadwal yang sinkron untuk survei,"

Ya sudah. Mau bagaimana lagi. Meski aku sebenarnya tak terlalu ngoyo mengejar terlalu banyak proyek seperti yang lain, tapi bolehlah. Kupikir masih bisa kutangani.

Nanti saja kutanyakan pada Tantri, apa saja yang sudah mereka bicarakan sebelumnya.

Akupun mengangguk.

Dan, sial.

Senyum manis dan kebapakan--tapi dia ini belum punya anak sebenarnya--yang selalu dikeluhkan Tantri membuat kepalanya pening karena mengharap itu, dia hadiahkan padaku.

Ah, Mas Chandra. ..
Sayang sekali, dia tidak berkacamata.

"Deal, ya. He's yours from now,"

Aku hanya mengangguk, kulirik lagi kertas di tanganku. Oh, calon klienku memang lelaki.

"Lakukan sesukamu,"

Aku nyaris memutar mata. Entah karena telanjur perseptif dengan status dudanya, atau memang ada sesuatu jail yang memang dia maksudkan, bagiku frasa itu terdengar ambigu. Dan seperti tahu apa yang ada di kepalaku, dia tertawa.

"Ya sudah. Lunch yok," tawarnya tiba-tiba.

"Hmm, traktir nih? Kan baru dapat proyek kakap," godaku.

Tanpa kuduga dia mengangguk cepat. "Ayo!"

Hoho, Tantri bisa melumatku jadi perkedel kalau tahu selama dia tak ada, lelaki matang menggiurkan--istilahnya Tantri-- ini menraktirku makan siang.

Segera saja kubereskan mejaku. Tersenyum semringah padanya. "Aku yang pilih tempatnya dong, Mas," kataku saat kami berjalan menuju pintu keluar.

"Kenapa begitu? Ngelunjak, ya." gerutunya. Tapi aku tahu dia cuma pura-pura kesal.

"Mas duluan yang tadi ngajak," balasku.

"Oh ya ya... " gumamnya lagi. "Mana bisa aku menang mendebatmu," katanya saat membukakan pintu sedan Lancernya untukku.

Kuberi dia senyum manis penuh terima kasih.

"Jadi, kita ke mana, Mbak Cantik?" tanyanya sesaat setelah menyalakan mesin.

Oh oh, rasanya aku paham sekali kenapa Tantri begitu tergila-gila pada duda keren ini.

Tbc.

Segini dulu ya, test pasar sambil membangun mood nulis 😅😅😅
Nanti kalau ada yang missed silakeun dikoreksi ya,
Selamat berakhir pekan, kepada jombloh manapun yang mampir ke lapak ini, semoga segera mendapat pasangan.

@mala
11Maret2017

Heart Decor Where stories live. Discover now