Chapter V

45.8K 5.3K 92
                                    


"Jenna nanti pulang kantor ada acara ke mana?"

Aku mengangkat kepala dari piringku, "Nanti sore, Ma?"

"Iya,"

"Nggak ada seingatku, Ma,"

"Kalau begitu, tolong antar Mama, ya?"

Kulirik Papa, lalu menoleh lagi pada Mama. "Ke mana?"

"Ada acara kumpul-kumpul, beberapa teman angkatan Mama sedang di Semarang. Mereka ngajak ketemuan,"

Kulirik Papa lagi, kali ini beliau mengerutkan alis kepadaku. Lalu menoleh kepada Mama.

"Eko ke mana memangnya?"  tanya Papa. Mas Eko itu pegawai rumah yang biasanya menyopiri Mama.

"Ada, Mas. Tapi aku pengin ada yang menemani. Masa iya Eko kuajak masuk?"

Aku manyun. Papa mengangkat bahu kepadaku.

"Tapi aku belum bisa pastikan, Ma. Mana tahu ada acara mendadak. Biasa kan, seperti itu?"

Mama memberiku senyum pengertian, "Nggak apa-apa. Nanti sekitar jam empat hubungi Mama saja. Bisa atau enggak kamunya,"

"Kalau ternyata nggak bisa, gimana dong?"

"Ya enggak apa-apa. Mama diantar sama Eko saja,"

Aku memandang Papa lagi, beliau hanya mengangkat alis menahan senyum. Kami, aku dan Papa, memang belum bicara tentang rencana Mama kepadaku. Kalau aku bicara, Papa pasti heran, dari mana aku tahu. Masa iya aku harus mengaku kalau sudah menguping pembicaraan mereka?

Hmm... naluri seorang anak. Apa aku bilang saja seperti itu kepada Papa? Tapi, Papa kan sudah menegur Mama waktu itu?

Semoga saja Mama mau menuruti kata-kata Papa. Seperti biasanya. Kalau ada yang aku tak setujui dari tindakan Mama, aku akan bicara pada Papa, lalu Papa akan bicara pada Mama, lalu Mama akan berubah sikap karena mengikuti apa kata Papa haha. Tapi, kalau melihat pagi ini beliau sudah mem-book jadwalku sore nanti, sepertinya aku tidak boleh terlalu senang dulu.

Karena ini anak Tante April, Jenn.
Jangan meremehkan kekuatan dua orang sahabat yang mungkin saja memendam keinginan untuk saling jadi besan.

Aku ingat, aku pertama kali dikenalkan kepada dokter Gary sewaktu mengantar Mama periksa ke kliniknya. Waktu itu Mama mengeluhkan ada yang tidak beres dengan siklus menstruasinya, padahal kupikir Mama sudah tak lagi mendapatkannya, dan kalau sekadar keluhan semacam itu sepertinya bisa didiskusikan dengan Papa. Ya kan? Tapi karena beliau meminta, apa mungkin aku menolak? Dan kupikir juga waktu itu Mama hanya memintaku menemaninya ke Adhikara. Tapi ternyata...

Duh, Mama. Bagaimana kalau dokter-dokter di Adhikara sampai tahu kalau istri direktur utamanya malah mendatangi klinik lain yang bahkan tidak lebih bagus?  Dan, apa Papa tahu?

Bukannya aku mencela atau merendahkan klinik dokter Gary, tapi... ah Mama terkadang memang tidak masuk akal. Dan sekarang, baru bisa kutarik benang merah dari tingkah absurd semacam itu dengan apa yang beliau rencanakan untukku.

Aku tersadar dari lamunan saat kulihat Reno dan Adrian sudah berdiri. Kulirik jam tanganku, sepertinya sudah waktunya juga aku berangkat. Aku sudah ingin menggandeng lengan Papa, mencoba bicara sedikit dengan beliau. Tapi Mama ada berjalan bersamanya. Dan mereka juga seperti sedang membicarakan sesuatu.

Eh, apa barusan kudengar hari ini Papa akan terbang ke Batam?

Yah, tidak bisa hari ini. Mau bagaimana lagi? Akhirnya aku hanya bisa memandang pasrah saat mobil Papa sudah melaju meninggalkan halaman.

Heart Decor Onde histórias criam vida. Descubra agora