Chapter VIII

41.6K 5.6K 318
                                    

Eh, follower akun @malashantii sudah mencapai angka 30K lho ternyatahhh 😱😱😱😱
Nggak terlalu banyak sih memang, itu pun karena join wattpad sudah sejak hampir tiga tahun lalu. Tapi, tetap istimewa buat saya, karena kalian follow-nya dengan sukarela, bukan karena saya yang minta hoho.
Makasih ya teman-teman pembaca #smooch satu-satu 😚😚

==============================


==============================

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kopi, Jenn?"

"Wah, thank's, Mas. Ngantuk-ngantuk begini,"

Mas Chandra mengulurkan mug padaku, lalu kembali ke dispenser. Sepertinya mengambil kopi untuk dirinya sendiri.

Aku tak terlalu suka kopi. Tapi aku tak membawa coklat bubuk hari ini. Semoga kafein bisa bekerja sebaik teobromin untuk syarafku. Karena aku memang tak sedang mengantuk, justru tegang lebih tepatnya. Sejak pagi, sejak datang ke kantor seperti tak ada yang terlihat benar di mataku. Tantri bahkan sempat kubentak hanya karena menanyakan tentang status ceck in Path-ku semalam. Iya, semalam saat pergi bersama dokter Gary.

Saat Tantri berlalu sambil sedikit menggerutu, tak sengaja kupandangi kalender mejaku. Kulirik baris yang kuhiasi bunga dengan tinta hijau. Itu.. penanda apa ya?

Oh, ampun! Pantas saja.
Apa aku punya janji bertemu klien ya, hari ini?
Semoga saja tidak.

Kupandangi pinggiran mug kopi di tanganku. Sudah jam makan siang. Di luar hujan deras. Jadi memang sebagian yang ada di kantor malas keluar, dan pilih menunggu delivery makan siang mereka datang. Begitu pun aku.

Lalu Mas Chandra duduk di depan mejaku. Menyesap kopinya sambil mengamati meja Aldi. Cowok kurus itu sedang menerima telepon sambil sesekali mengumpat. Aku mengernyit. Kalau sedang kesal dia kadang memang tak bisa menjaga bicaranya.

Kalau saja aku lelaki, mungkin saja umpatan yang kulontarkan seharian ini akan lebih parah dari mulutnya Aldi. Lalu kulihat dia tersenyum kikuk saat sadar Mas Chandra tengah mengamatinya. Dan aku teringat sesuatu.

"Eh, Mas, kita mau dapat proyek gede lagi, ya?"

"Kok tahu?" Mas Chandra menoleh.

"Aldi yang bilang kapan hari itu. Proyek apa kah?"

"Itu, resor baru di Mandalika. Kamu sudah dengar tentang rencana pembangunan sirkuit MotoGP itu?"

"Iya. Itu di Lombok kan?" Dia mengangguk. "Aku mau ikut dong, Mas? Sudah lama pengin ke Lombok liburan,"

Mas Chandra tersenyum mengamatiku. "Kerja, Jenn. Kita ke sana bukan mau liburan,"

"Apalah sudah pokoknya. Kalau di sana kan semacam mirip liburan terus. Ya kan?"

Dia tersenyum lagi. Duh, cakep. Aku meringis pelan, seperti mendapat suplai teobromin langsung ke otak.

"Memangnya sudah pasti, Mas, kita yang dapat?"

Heart Decor Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang