Chapter III

52.9K 5.5K 143
                                    

Dan, apa yang membuatku sampai berasumsi bahwa lelaki ini sudah tua, kalau satu-satunya kontak yang pernah kami lakukan adalah via percakapan telepon?

Umurnya mungkin baru kepala tiga. Awal. Tiga puluh awal. Garis wajahnya terlalu matang untuk ukuran lelaki usia dua puluhan.

Tapi, suaranya itu. Iya, suaranya.
Suara dalam, penuh wibawa, dengan intonasi rendah namun tegas yang hanya mungkin dimiliki para lelaki yang sudah kenyang dengan pengalaman hidup. Atau, sudah pernah merasakan menggenggam kekuasaan. Nyaris seperti nada suara yang selalu Papa gunakan dalam situasi formal. Jadi mana mungkin suara semacam itu bisa dimiliki lelaki remaja umur belasan?

Baiklah, dalam percakapan telepon memang bisa saja vibrasi suaranya jadi sedikit terdistorsi, mungkin aku terkesan sedikit melebih-lebihkan. Tapi setelah bertemu langsung, suaranya bahkan jauh lebih enak didengar, ya Tuhan...

Tapi ya sudahlah. Buat apa meributkan umur klienku? Atau tone suaranya. Yang penting kami sudah bisa bertemu. Lain kali saja kuusulkan agar tiap klien Architera yang hendak disurvei harus menyerahkan foto diri untuk menghindari terjadi hal semacam ini lagi. Yah, walaupun sebenarnya salahku sendiri yang terlalu cepat berasumsi. Lebih bijaksana lah lain kali, Jenn...

Kusapukan pandangan ke sekeliling. Lalu berhenti di depan pintu kamar, di mana Bapak Ferdian yang ternyata belum tua itu menghilang setelah pamit untuk melanjutkan lagi percakapan ponselnya. Hmm, ternyata ada yang lebih parah daripada aku. Kalau Papa mengenalnya, habis sudah dia diomeli.

"Maaf menunggu, Mbak Jenna,"

Aku menoleh, pak Ferdi sudah berdiri didekatku. Unit ini memang nyaris kosong, jadi sambil menunggu aku hanya berdiri di pinggir ruangan. Sudah tidak ada ponsel menempel di telinganya. Tapi, dia sekarang memakai kacamata. Kuamati sekilas bapak muda ini. Wajahnya cukup enak dilihat.

Aku tersenyum dan menggeleng sebagai balasan.

"Mari, kita melihat-lihat dulu?" tawarnya.

Aku mengangguk, lalu mengikutinya menuju area yang difungsikan sebagai pantry. Tak ada sekat di loft unit ini, sebenarnya aku bisa mengamati segala sudut dalam sekali pandang. Tapi, tetap saja lebih leluasa jika pemilik rumah yang menunjukkan.

Lalu dia membawaku memasuki kamar tidur utama di unit dengan luas semigross sekitar empat puluh meter persegi, mengatakan ingin memiliki area dressing tersendiri yang nyaman dan terkoneksi langsung dengan area kamar mandi. Kutambahkan poin itu ke dalam notes. Tur singkat kami berakhir di balkon yang menghadap ke pemandangan Simpang Lima yang menyambut sinar matahari pagi. Unit ini terletak di posisi yang cukup strategis. Kalau mencari apartemen, unit semacam ini pasti juga jadi pilihan pertamaku.

Saat kami masuk kembali, kutengadahkan kepala, mengira-ngira. Bagus. Dengan ceiling setinggi ini, sekitar lima meter, aku bisa cukup leluasa berkreasi.

"Jadi, kira-kira pak Ferdi ingin desain seperti apa?" tanyaku. Dia tak langsung menjawab, tapi memandang ke sekeliling.

"Saya nggak terlalu paham tentang konsep tata ruang, Mbak Jenna. Tapi intinya saya hanya ingin punya tempat tinggal yang nyaman. Simpel. Dan nggak terlalu ribet perawatannya."

Aku mengangguk. Tipikal pekerja lajang.

Oh, tunggu dulu. Apa dia memang benar-benar masih lajang?

"Tapi, kalau boleh tahu, apartemen ini nantinya akan Bapak tinggali sendiri atau... "

Kalimatku menggantung, dia menatapku dengan alis bertaut.

"Maksud saya, kalau misalnya Pak Ferdi tinggal dengan pasangan, atau keluarga, saya pikir nantinya akan perlu ada beberapa penyesuaian," jelasku.

Dia terdiam. Seperti berpikir.

Heart Decor Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang