Chapter XIV

34.1K 5.2K 181
                                    

PS. Sejak awal saya memang sengaja bikin si Jenna ini ringan, sweet, agak receh dan nggak bikin baper. Jadi, pembaca bahagia, dan yang nulis juga nggak dimaki-maki pembaca. Kalian itu kan sukanya maki-maki saya, ya to?
Dan, satu lagi. Buat kalian yang sukanya baca sambil nebak-nebak, atau kecewa karena plot yang nggak sesuai ekspektasi, diingat baik-baik ya: saya jarang naruh hint atau kasih detail yang nggak berguna.
===============================

"Dokter?"

Aku mengangguk lemah. Mata belo Tantri seketika melebar secara tak wajar.

"Di Adhikara?"

Aku mengangguk lagi. Mulanya dia kelihatan bingung. Lalu, ah sialan! Kenapa dia malah tertawa ngakak seperti itu?!

"Seriusan itu,  Jenn? Kok bisa sih, dan kamu nggak tahu?" Aku mendengus.

"Kalian nggak pernah ngobrol tentang kerjaan memangnya, lumayan lama lho proyek renovasinya ehemm," aku mendelik saat Tantri berdeham dengan sangat sengaja. "Dokter Ferdi,"

Aku menggeleng, "Nggak ada,"

"Lalu, kalau ketemu begitu, ngobrol apa saja?"

"Cuma tentang proyek,"

"Duh, nggak nyangka, cakep-cakep ternyata se-garing itu dia," cela Tantri.

Salah. Sebenarnya kalau kami bertemu dia lebih banyak bertanya tentang diriku. Dan, untuk apa pula aku bertanya-tanya tentang dirinya?

"Kamu juga nggak tahu, kalau dia kerja di Adhikara? Kok bisa sih?"

Aku memutar mata kesal, merengut, "Aku nggak pernah ke rumah sakit. Kalau pun iya, yakali, Tant, aku meriksa sampai hafal semua dokter yang praktik di sana. Nganggur amat,"  gerutuku.

"Ya siapa tahu, alergimu sama cowok dokter udah di level mengkhawatirkan."

Aku terdiam.

"Terus, acaranya sama dokter Gary gimana?"

"Lancar. Nggak gimana-gimana,"

"Kamu makin sering ya, jalan sama dia,"

"Aku mana bisa nolak,"

"Bisa, Jenn, asal kamu mau,"

"Nggak enak sama Mama,"

"Oh, lalu kalau sampai keterusan, dan kamu nggak enak melulu sama Tante, yang ada tahu-tahu kamu udah duduk di depan penghulu,"

"Nggak tahu lah," gumamku. Meski kutahu Tantri ada benarnya. Jujur saja, masih tersisa rasa syok setelah bertemu Pak Ferdi di rumah sakit kemarin.

"Tapi, Jenn, kalau begini kamu nggak punya pilihan dong ya, lah mereka sama-sama dokter gitu,"

"Eh, sebentar. Pilihan apa maksudnya?"

"Pilihan hati lah,"

"Siapa juga yang mau milih, nggak dua-duanya!"

"Serius nih? Lalu kenapa, tadi kayak hopeless begitu waktu cerita tentang dokter Ferdi? Yang ada sebenarnya kamu ngarep kali, sama dia. Segala pakai sok-sok nggak mau,"

Kupukuli kepala Tantri dengan bantal besar yang sebelumnya kupangku. Dasar menyebalkan!

"Lah, iya kan? Kalau enggak, sebenarnya keberatanmu itu apa sih, Jenn? Kalau kamu memang nggak baper dan nggak ngarep sama dia, he's completely totally perfectly forbidden for you."

Aku mengerutkan dahi.

"Karena, satu, dia dokter. Dua, dia klienmu. Tiga, dia sudah punya pasangan,"

Heart Decor Where stories live. Discover now