Chapter XXII

41.8K 5.8K 348
                                    

"Goyang saja kalau memang suka,"

Eh?
Refleks kepalaku berhenti bergerak-gerak.

"Nggak perlu sungkan sama saya,"

Ish. Mati-matian aku menahan diri tak cemberut. Apa harus, dia mengomentari seperti itu? Siapa suruh memutar lagu dengan beat seenak ini di mobil? Dia pasti tak tahu kalau aku dan Tantri sudah dikenal jadi biang dansa sejak kami masih sama-sama SMA, syaraf dan otot di sekujur tubuhku yang masih normal tak mungkin tak merespons dan bereaksi seperti ini.

Tapi sebenarnya kupikir lelaki serius dan menyebalkan seperti dia akan lebih memilih Einaudi, atau Beethoven, atau Mozart, atau yang sejenis itu, jadi sudah kubayangkan aku akan mengantuk atau mati bosan jika menumpang mobilnya. Kuingat dokter Gary yang masih punya selera humor saja sangat menggilai musik jazz. Tapi ternyata...

"Saya nggak tahu kalau Pak Ferdi suka dengan musik semacam ini,"

"Apa itu aneh?"

"Bukan, hanya... di luar bayangan saya,"

"Memangnya apa yang Mbak Jenna bayangkan tentang saya?"

"Bukan mendengarkan jenis musik semacam ini," jawabku jujur.

"Mbak Jenna sepertinya punya kebiasaan terlalu perseptif pada orang lain,"

Dia tidak kelihatan tersinggung, tapi itu bukan jawaban yang enak untuk kudengar. Aku meliriknya. Sementara dia-bahkan tak menoleh saat mengatakannya- masih mengemudi dengan tenang menyusuri sepanjang garis pantai di jalan raya Senggigi ke kawasan Mandalika. Sesekali nampak jemarinya mengetuk-ngetuk kemudi.

Jadi daripada salah bicara lagi, lebih baik aku diam.

"Saya nggak suka mengemudi dalam keadaan sepi. Kalau sedang bersama orang lain, biasanya saya lebih suka ngobrol," gumamnya kemudian. Dan sepertinya dia mengecilkan volume musik.

Dahiku mengerut. Orang lain? Apa lelaki seperti dia juga bisa memberi tumpangan seperti ini? Dan kenapa seketika aku teringat dokter Dinar, karena sepertinya dia tipikal perempuan yang lugas, banyak bicara, dan teman ngobrol yang menyenangkan. Dan sekali lagi tanpa alasan aku jadi kesal sendiri.

"Saya bisa mendengarkan apa saja, kok. Tergantung situasi. Apa di wajah saya tercetak semacam stempel kalau saya tidak bisa mendengarkan musik sejenis ini?"

Kalau saja suaranya tidak sangat enak didengar, ucapan tajamnya barusan akan terdengar sangat menyakitkan.

"Semalam tidur nyenyak? Apa Erfan sudah menyuruh staf hotel memilihkan kamar yang nyaman?" gumamnya lagi, karena aku hanya terdiam dan tak menanggapi, masih menatap lurus ke depan.

Lalu aku jadi teringat untuk menanyakan hal ini.

"Apakah... ng, apakah perusahaan Pak Ferdi selalu semurah hati itu kepada rekan kerja semacam kami?" tanyaku hati-hati setelah menimbang beberapa saat.

"Maksudnya?" kali ini dia menoleh selama beberapa jeda, lalu berkonsentrasi kembali ke jalanan yang mulai menanjak di depan.

"Kamar saya nyaman, Pak Ferdi. Terima kasih. Tapi saya sempat berpikir kalau yang kami dapatkan agak sedikit... berlebihan,"

Dia tak langsung menjawab, menghentikan mobil saat berpapasan dengan sebuah sedan silver berpelat nomor Polisi area Bali yang sepertinya sedang berusaha berputar arah.

Heart Decor Where stories live. Discover now