Chapter XXV

47.2K 6.2K 382
                                    

Entah apa yang dia maksud dengan pilihan sikapnya sendiri. Tapi apapun itu, kalau artinya adalah dia jadi bersikap lebih kooperatif dan tak lagi menjengkelkan, aku jelas senang. Karena setelah mengajukan tawaran aneh yang tak sudi kutanggapi itu, meski sempat terlihat kesal, setelahnya dia justru bersikap lebih bersahabat.

Saat aku memaparkan aplikasi dari project plan yang kubuat, dia tak banyak mencela lagi. Kami jadi lebih banyak... well, berdiskusi. Dan itu membuatku agak bingung.

Apa dia pria yang sama yang di tengah lokasi proyek tadi menyindirku dengan ketus hanya karena aku menerima telepon dari dokter Gary? Kalau pun iya, sepertinya ada sebagian dari dirinya yang tertinggal di lokasi proyek sana dan terlupa tak dia bawa.

Iya, bagian kepribadiannya yang menyebalkan itu.

Pamit untuk pergi tak lama kemudian karena sudah mengatur sebuah pertemuan dengan pejabat dari kementerian pariwisata di Jakarta, dia sempat menawarkan padaku kembali ke hotel bersamanya atau tidak. Aku suka villa miliknya, dan belum selesai mengobservasi. Jadi aku memilih tinggal.

Karena, semobil lagi dengannya setelah apa yang dia katakan? Yeah, aku memang sempat emosi, tapi aku masih meragukan jantungku akan sanggup bertahan sehat dan berdenyut stabil kalau terlalu lama berdekatan dengannya.

Beberapa saat kemudian saat aku sudah selesai dan berniat menelepon taksi, di halaman villa sudah menunggu sebuah mobil. Saat sopirnya menghampiriku, aku sedikit terkejut melihatnya.

"Bapak kan yang menjemput saya tempo hari dari bandara?"

Lelaki itu tersenyum ramah. "Benar, Mbak,"

Segera kuulurkan tangan dan memperkenalkan diri kepadanya. Pak Karman, demikian dia menyebut dirinya.

"Mencari Pak Ferdi kah? Baru sekitar sejam yang lalu pergi," aku bertanya, karena kalau tak salah dengar sewaktu dia mengobrol dengan Mas Chandra waktu itu, dia sempat menyebut dirinya sebagai sopir direksi hotel.

Tapi, Pak Ferdi tadi kan menyetir sendiri?

"Bukan. Saya diminta menunggu di sini untuk menjemput Mbak Jenna,"

Seketika keningku berkerut, "Menjemput saya?"

"Iya," dia mengangguk. "Mas Ferdi sendiri yang meminta,"

Oh.

"Mau langsung kembali ke hotel, atau bagaimana?" tawarnya kemudian.

Aku masih terdiam, sedikit kebingungan. Tapi, sepertinya kejutan ini bermanfaat. Ya kan?

"Ng, Pak Karman ada rekomendasi toko perabot yang bagus, atau yang semacam itu?" tanyaku. Dia terlihat berpikir sejenak.

"Ada, saya tahu beberapa toko yang bagus. Bisa saya antar kalau mau,"

Aku langsung tersenyum, tapi kemudian teringat sesuatu. "Wah, boleh, Pak. Tapi rencananya saya baru akan mencari dan memilih-milih barang, jadi mungkin akan makan waktu lama. Apa nggak akan merepotkan?"

"Untuk keperluan villa ini?" tanyanya. Aku mengangguk. "Nggak apa-apa, nanti saya tunggu. Lagipula Mbak Jenna belum hapal wilayah ini kan? Kalau bepergian sendiri, sepertinya agak mengkhawatirkan,"

Aku mengerutkan dahi lagi. Lalu tertawa pelan. "Saya bisa punya google Maps, kok, Pak. Dan bisa bertanya ke orang-orang. Apa Pak Karman khawatir saya bakalan kesasar?"

Lalu kulihat dia menggeleng, "Sudahlah, saya antar saja."

Akupun menurut saja. Lelaki ini ramah, dan aku langsung memutuskan menyukainya sejak dia menjemput kami dulu. Dari villa, dia membawa mobil langsung menuju kota. Pak Karman ini banyak bicara, tipikal sopir yang sepertinya sering diajak berbincang majikan yang disetirinya. Dia menceritakan banyak hal tentang Lombok. Mataram. Senggigi. Hanya saja, tak mau menjawab saat kutanyakan beberapa hal tentang bosnya yang bersifat pribadi. Loyalitasnya, kupikir perlu dapat apresiasi.

Heart Decor Where stories live. Discover now