Chapter XXIII

38.7K 6.5K 972
                                    



Kalau ada kontes adu ketajaman mulut, bahkan jika mayoritas pesertanya adalah ibu-ibu pengendara motor matic yang suka menyalakan lampu sein ke kanan padahal ingin belok ke kiri, lelaki ini akan tetap jadi pemenangnya.

Apa-apaan sih dia?
Ini kan cuma telepon. Seingatku tak makan waktu sampai sepuluh menit. Di tengah tanah kosong ini aku juga tak berfungsi sebagai apapun kecuali menyimak para lelaki dengan APD lengkap tengah membahas tebal plat lantai beton, ukuran besi yang akan digunakan sebagai penulangan, kedalaman tanah yang akan ditanami fondasi, dan segala hal semacam ini. Jadi, urusan pribadi apa? Sedang bekerja apanya?

Arghh!
Mas Chandra harus bertanggung jawab atas rusaknya hariku sejak pagi tadi karena dia sudah lancang memberi tahu rencanaku datang ke sini kepada Pak Ferdi.

Tapi kutarik napas dalam, berusaha tersenyum sopan meski dalam hati mendongkol setengah mati. "Saya minta maaf, Pak Ferdi,"

Dia hanya mengangguk. Ish!

"Mbak Jenna, membawa project plan untuk villa saya?" tanyanya kemudian.

"Ada. Ada saya bawa."

"Bagus, jadi kita nanti dari sini sekalian meninjau ke sana," aku mengerutkan kening, sementara dia melirik jam tangannya. "Sepertinya masih ada waktu sebelum saya terbang ke Jakarta,"

"Ng, apa harus hari ini juga?"

"Maksudnya?"

"Kalau Pak Ferdi memang harus segera terbang ke Jakarta saya pikir kita bisa menunda dulu meninjau lokasi," tanyaku hati-hati. "Kita bisa ke sana sekembali Bapak ke sini,"

Entah aku salah lihat atau apa, tapi dia sekilas menyipit seperti tak suka saat aku mengucapkan kata 'bapak'.

"Dan membuang waktu percuma?" tukasnya. "Mbak Jenna paham artinya efisiensi kan?" sindirnya tajam.

Tarik napas dalam, Jenn. Efek teobromin tadi pagi belum sepenuhnya hilang kan? Dia benar kok. Kamu di sini memang sedang bekerja. Jadi tak perlu sakit hati, don't take this personally. Penyedia jasa memang harus mengutamakan kepuasan klien di atas segalanya. Iya, di atas segalanya. Tapi aku akan mengatakan kepada Mbak Devi dari bagian HRD untuk segera memasukkan deskripsi "menelan bulat-bulat rasa dongkol dan kesal karena harus menangani klien yang sejenis ini", ke dalam jobdesc tertulis kami.

Jadi, aku hanya mengangguk. Malas berdebat dengannya, daripada membuat suasana hatiku malah jadi makin buruk. Padahal, aku sudah berencana tinggal di sini sampai sore nanti. Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan pada Mas Chandra. Karena bicara di telepon jelas tidak leluasa. Kupikir ada taksi yang bisa menjangkau daerah ini, karena meski dibangun di atas sebuah bukit tapi calon resort ini tak terlalu terpencil. Masih cukup dekat dengan peradaban.

Aku lalu menghabiskan waktu setelahnya dengan menyimak pembicaraan para lelaki itu. Sambil mengamati sekeliling, mencatat ke dalam planner-ku beberapa ide tambahan yang kutemukan yang nanti sepertinya bisa kuaplikasikan setelah proses konstruksi selesai. Dan dengan berat hati pamit pada Mas Chandra untuk masuk ke mobil Pak Ferdi lagi.

Dalam perjalanan aku tak berminat bicara bahkan demi alasan sopan santun, jadi setelah mendapat izinnya untuk membuka jendela, aku pilih mengeluarkan kepala dan membiarkan angin laut yang berembus cukup kencang mengusir pergi rasa kesal yang terpaksa kutahan-tahan.

Aku baru mengalihkan pandangan dari panorama di luar saat lagi-lagi dia membelokkan mobil ke sebuah bukit, sepertinya kami sudah hampir sampai. Kuamati sekeliling, lokasi villa ini cukup terpencil, meski dalam jarak pandangku masih terlihat beberapa bangunan lain yang sepertinya juga adalah villa pribadi semacam ini. Aku ikut turun, mengikuti langkahnya. Dan pelan kurasakan kejengkelanku menguap.

Heart Decor Место, где живут истории. Откройте их для себя