Chapter XX

42.8K 5.5K 123
                                    

"Erfan sudah mengatakan untuk menggunakan gaya nautical untuk villa itu kan, Mbak Jenna?" tanyanya tanpa memandangku, dan menunduk mengamati project plan yang sudah kusiapkan.

Aku mengangguk.

"Saya pikir penggunaan warna merah ini sedikit melenceng dari garis gaya yang saya pilih. Oke, untuk kuning yang Mbak Jenna pakai masih bisa masuk, walau saya terus terang nggak suka. Tapi, merah?" kali ini dia menyipit menatapku dari balik kacamatanya.

"Saya hanya akan menggunakannya sebagai aksen agar ruangan tidak terlalu monoton,"

"Bisa saja, tapi saya pikir bukan merah dengan tone yang terlalu terang semacam ini. Burgundy sepertinya lebih bisa diterima,"

Oh. Burgundy dia bilang?

"Dan, saya sengaja membangun vila dengan konsep semacam itu, karena berniat mengekspos pemandangan laut yang bisa tertangkap dari jendela-jendela lebar yang saya pasang di sana. Tapi ornamen dan perabot yang Mbak Jenna akan masukkan ini rasanya terlalu berlebihan, secara estetika saya bayangkan akan mengurangi lapang pandang dan membuat ruangan malah terasa berantakan,"

Dia menyodorkan kembali project plan itu kepadaku. Menunjukkan beberapa titik yang jadi keberatannya. Dan mengajukan saran untuk menggantinya. Aku hanya menyimak. Mengamati lagi apa yang kukerjakan. Dan terdiam saat menyadari sesuatu. Rasanya lidahku jadi kelu.

Setelah kupikir-pikir, apa yang dia katakan benar. Tapi bukan itu yang mengejutkanku.
Dia paham. Dia mengerti desain, ya Tuhan.
Apa-apaan lagi ini?

Saat itu di Semarang kupikir dia hanya klien awam yang menyebalkan, merepotkan dan sulit sekali terpuaskan selera desainnya. Tapi di sini, dia bukannya awam, tapi paham.

"Saya akan merevisi lagi project plan itu, sesuai keinginan Pak Ferdi," jawabku setelah berhasil menguasai diri kembali. Dia menatapku lurus-lurus.

"Apa harus saya koreksi dulu seperti ini? Nggak bisa ya, datang kepada saya dengan konsep dan desain yang sudah bisa memenuhi selera saya? Kita sudah pernah bekerja sama, saya pikir seharusnya Mbak Jenna sudah mengantisipasi karena sudah tahu garis gaya yang saya sukai seperti apa,"

Tapi saya tidak tahu kalau itu adalah villa milik bapak. Saya bahkan tidak tahu kalau kita akan bertemu di sini. Dan apa sebenarnya hubungan bapak dengan Mas Erfan? Kenapa bapak bisa muncul di manapun tempat yang tak pernah saya duga?

Yak, aku hampir kelepasan dan menyemburkan semua pertanyaan itu. Tapi kugigit lidah kuat-kuat. Aku tak akan bertanya. Apalagi setelah diingatkan lagi dengan tajam bahwa kalau dia mau, ternyata lelaki ini bisa jadi menyebalkan sekaligus kejam.

Lalu saat lagi-lagi dia memberi isyarat untuk menerima panggilan ponselnya, aku kembali hanya bisa terdiam.

Apa deja vu itu memang benar-benar ada? Aku pernah iseng membaca satu artikel yang menyebutkan bahwa yang sering kali dirasakan orang sebagai deja vu sebenarnya adalah kilasan kejadian yang sudah pernah dilihat seseorang sebelum dia lahir ke dunia. Jadi, sesaat sebelum seorang bayi dilahirkan, rohnya akan dibawa berjalan-jalan oleh Tuhan untuk mengintip beberapa kejadian yang kelak akan dia alami dalam hidup. Hanya saja, segala ingatan tentang apa saja yang sudah pernah ditunjukkan Tuhan kepadanya lenyap tepat ketika pertamakali matanya menjadi silau melihat dunia luar, dan telinganya pekak oleh teriakan bahagia orang-orang sekitar. Sesaat setelah tubuhnya ditarik keluar dari rahim ibunya.

Entahlah di mana letak kebenaran atau sisi ilmiah artikel itu, tapi kalau deja vu itu memang benar ada, kalau saja aku bisa mengingat bahwa aku akan bertemu lelaki ini, sedari awal aku akan menghindarinya dengan segala cara.

Duh Gusti, Jenna mulai melantur lagi. Tapi ini memang benar-benar terasa seperti di pertemuan awal kami. Sorot tidak yakin di matanya, ekspresi skeptis di wajahnya. Intinya, segala hal yang mengindikasikan dia meragukan kemampuanku. Dan kembali rasa tak nyaman itu datang. Apa enaknya sih, bekerja dengan seseorang yang sedari awal sudah memandang rendah kepadamu?

Yeah, biasanya jika menghadapi situasi semacam ini aku malah jadi tertantang. Tapi itu biasanya. Bukan di saat ini. Bukan di saat secara mental dan emosional aku sedang mengalami guncangan. Biasanya aku akan membuktikan. Tapi kalau boleh memilih, kali ini aku lebih baik meninggalkan.

"Saya masih ada pertemuan lain,"

Aku menoleh, dia tak lagi duduk di sebelahku. Maka otomatis akupun berdiri.

"Tolong, direvisi lagi desain ini. Nanti setelah Mbak Jenna siap, kita bertemu untuk membahasnya lagi,"

Aku hanya mengangguk kaku. Tak membalas bicara bahkan sampai dia keluar dari ruangan ini. Deja vu. Mimpi buruk. Atau apapun istilahnya itu. Gusti, kenapa hal semacam ini bertubi-tubi datang kepadaku...

Tbc.

@mala
14Juli2017

Heart Decor Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ