Chapter II

64.9K 6.2K 78
                                    

Kucoret satu lagi tanggal di kalender planner. Mendengus sedikit kesal. Sulit sekali menemukan hari untuk memulai survei ke lokasi apartemen klien baruku. Iya, klien yang seharusnya di-handle Tantri itu. Baru saja kututup percakapan telepon dengannya. Sudah tiga kali percakapan kami belum juga mendapat titik temu.

Di saat jadwalku luang, dia mengatakan sedang tidak berada di tempat. Baru pindah dia bilang, jadi masih bolak-balik dari tempat asalnya.

Sementara saat dia sedang kosong, aku sudah punya jadwal lain. Ditambah lagi, bapak sok sibuk ini juga susah sekali dihubungi. Beberapa kali panggilanku tak dijawab, padahal aku selalu mengirim pesan dulu sebelum menghubunginya. Atau kalau tidak begitu, nomornya dalam keadaan sibuk.

Sebenarnya dia ingin apartemennya segera direnovasi atau tidak?

Tantri tak banyak membantu. Dia hanya bilang, mereka belum membicarakan apa-apa sebelumnya. Segala keputusan yang akan disepakati tentang proyek ini baru akan diambil setelah lokasinya kami survei.

"Jenn,"

Aku menoleh. Mama. Berjalan mendekat ke ranjangku.

"Duduk, ah! Sayang itu mata," tegur Mama halus.

Buru-buru aku beringsut dari posisi tengkurapku. Mama duduk di sebelahku. Segar. Wangi. Sepertinya baru mandi sepulang dari klinik dokter Purbo. Selain praktek di Adhikara--rumah sakit kami--Mama memang mengambil jam praktek sore hari di klinik milik salah satu sahabatnya itu. Alasannya karena kami bertiga sepertinya sudah tidak membutuhkan beliau untuk mengurus segala hal.

"Kebiasaan," lanjut Mama. Aku nyengir.

Usiaku sudah dua puluh lima tahun. Tapi Mama, selalu memperlakukanku seperti aku ini anaknya yang baru beranjak remaja. Mungkin karena hanya aku anak perempuan yang dimilikinya.

"Sudah berminat pakai kacamata memangnya?"

Oh, no!
Aku memang suka lelaki berkacamata. Tapi, aku sendiri jelas-jelas tak sudi benda itu sampai menempel di wajah dan menutupi keindahan mataku.

"Mama baru pulang?"

"Iya. Kenapa cemberut begitu?"

"Klien, Ma. Bikin susah,"

"Bikin susah kenapa?"

"Diajak ketemuan susahnya minta ampun, ini survei saja belum. Gimana mau mulai proyeknya?" gerutuku.

"Proyek apa memangnya?"

Mama tahu hampir segala hal yang sedang kukerjakan. Hampir tiap petang sepulang dari praktek sore, beliau pasti mendatangi kamarku. Bertanya apapun, yang bersedia kubagi dengannya. Karena sebenarnya Mama cenderung lebih dekat dengan Adrian dan Moreno, adik-adikku.

Aku, lebih dekat kepada Papa. Meski kini, di luar waktu tidurnya, bisa dihitung dengan jari berapa jam beliau menghabiskan waktu di rumah. Sejak cabang-cabang rumah sakit kami semakin beranak-pinak, semakin jarang beliau terlihat berkumpul bersama kami. Untungnya saat itu terjadi, aku bukan lagi gadis kecil yang akan merajuk karena tak lagi bisa ditemani ayahnya di setiap waktu. Karena aku sudah menemukan 'mainanku'  sendiri.

Mama hanya tersenyum saat aku mengadukan klien yang jadi topik perbincangan kami itu. Yah, memang tak setiap ceritaku akan ditanggapi Mama dengan saran atau masukan untuk mengatasi, karena beberapa di antaranya memang bukan jenis yang membutuhkan bantuan solusi dari Mama. Dan masalah yang ini adalah salah satunya.

"Makan yuk," ajak Mama beberapa saat kemudian.

"Aku masih kenyang, Ma,"

"Kenyang? Kapan kamu makan?"

Heart Decor Where stories live. Discover now