Chapter XXI

39K 5.4K 256
                                    

Cokelat panas di coffeeshop lantai dasar hotel ini enak, chocolava cake-nya juga, syukurlah. Masih ada hal baik yang bisa kutemukan di sini. Kalau saja tak menelan dua porsi cake setelah meeting presentasi dengan Pak Ferdi, entah akan jadi seperti apa situasi emosionalku. Tantri tak bisa kuhubungi di saat kuperlukan, menyebalkan. Sementara Mas Chandra, yah, kalau pun aku bicara dengannya, mau membicarakan apa? Apa mau mengeluh? Itu kan memalukan, dan menurunkan kredibilitasku sendiri.

Padahal sendirinya sejak lama sangat ingin datang ke sini, berkeliling Mataram, menjelajah semua pantai. Tapi, ah mungkin lain hari. Kalau suasana hatiku sudah membaik. Pergi berjalan-jalan, apalagi sendirian, dengan mood tak bagus buatku percuma. Bukannya gembira, seringnya aku cuma mendapat capek saja.

Jam sembilan malam waktu Lombok. Kulirik sekeliling yang lumayan ramai. Coffeeshop ini terletak di seberang lobby, jadi dari sini bisa mengamati lalu lalang tamu yang melintas. Aku tak tahu harus melakukan apa, bisa saja sebenarnya berjalan-jalan ke pantai seperti kemarin malam. Tapi kemarin terasa menyenangkan karena ada Mas Chandra yang menemani, beda kalau sendirian. Jadi kubawa saja laptopku ke sini. Meski tadi siang sebenarnya sudah selesai merevisi project plan untuk villa Pak Ferdi, tapi ada baiknya kuperiksa lagi. Mengingat betapa pedas dia mengritikku tadi pagi, rasa-rasanya aku tak boleh asal-asalan mengerjakannya kalau tak ingin kena komplain lagi.

Chandra Wiryatama
Lagi ngapain?

Jenna Chrysanthe
Manyun sendiri
Eh, Tantri ke mana sih, Mas?

Chandra Wiryatama
Kenapa manyun
Di sini enak
Rame
Tantri?
Ke mana apanya?
Ada kok
Barusan dia telepon aku

Jenna Chrysanthe
Aku sendirian di sini
Tapi kutelepon nggak bisa-bisa, ish

Chandra Wiryatama
Haha kasian
Ke sini saja

Jenna Chrysanthe
Aku besok ke sana boleh ya, Mas?
So sick of being lonely hiks
Please?

Chandra Wiryatama
Yadeh
Boleh
Pagi saja kalau mau,

Haha, setidaknya besok pagi aku jadi punya tujuan. Tapi Tantri sebenarnya kenapa sih? Sudah sekali dihubungi. Mentang-mentang sudah ada Mas Chandra, ish!

Kupandangi lagi layar laptopku, pada lembar project plan lama yang dikoreksi habis-habisan oleh klienku. Dahiku mengerut, kalau dia mengerti desain, kenapa harus repot-repot meng-hire jasa desainer?

Lalu teringat sikap menyebalkannya yang tadi, dan yang dulu-dulu, aku jadi tak habis pikir. Kalau dia memang dokter, bagaimana pasien-pasiennya tahan menghadapi sikapnya? Kubayangkan andai aku pasien penyakit dalam, semisal aku berangkat ke tempat praktiknya dengan keluhan hipertensi, keluar dari sana bisa-bisa aku malah mendapat serangan infark miokardial.

Kulirik ponsel yang berkelip-kelip, itu notifikasi dari foto instagram pemandangan lautan yang tertangkap dari balkon kamarku. Biar saja. Tapi, apa kira-kira Papa tahu sesuatu ya?

"Halo, Papa?"

"Halo, Jenn, ada apa?"

"Papa masih di rumah sakit?"

"Iya, tapi Papa kan di Surabaya hari ini,"

"Nginap, Pa?"

"Iya lah. Gimana, Lombok?"

Aku mendengus. Tersenyum sendiri. Ada sesuatu dalam suara Papa yang selalu bisa menerbitkan semacam rasa nyaman dan terlindungi hanya dengan mendengarnya. Sampai sekarang rasanya tiap kali mendengar suara Papa dari jauh seperti ini selalu bagai aku kembali jadi anak kecil yang menganggap ayahnya adalah lelaki paling hebat sedunia. Tapi, Papa kan memang seperti itu.

Heart Decor Where stories live. Discover now