Chapter XVIII

40.6K 5K 257
                                    

Yang mau ikut PO ALDEBARAN di saya, stay tune jangan sampai ketinggalan ya. Saya cuma sedia souvenir 50 biji saja. Jadi limited, dan yang pasti lucu buat dikoleksi 💃💃
===============================

Begitu kami mendarat, ternyata sudah ada satu mobil yang menjemput. Menurut Mas Chandra, itu disediakan oleh pihak Buana. Sekitar satu jam perjalanan dari bandara ke tempat kami akan tinggal selama pengerjaan proyek ini. Melewati kota yang semarak, lalu makin mendekati kawasan pantai Senggigi, segala keresahan dan gelisah yang terbawa dari Semarang seperti menghilang.

Atmosfer pantai memang berbeda, ya? Mataharinya lebih terik, anginnya lebih segar, dan tercium sedikit aroma asin di udara. Mas Chandra hanya tersenyum melihatku mengamati pantai yang terlihat di sepanjang jalan raya Senggigi dan menikmati embusan angin dari kaca mobil yang sengaja kubiarkan terbuka di sepanjang perjalanan. Dia sendiri sibuk mengobrol dengan sopir lelaki asli Mataram yang bekerja di hotel yang dimiliki temannya itu.

Aku tak terlalu menyimak. Larut dalam pesona pulau yang baru sekali ini kuinjakkan kaki. Baru mengernyit heran saat mobil yang kami tumpangi membelok masuk ke gerbang satu hotel megah beberapa kilometer dari tepian pantai. Kuamati taman luas yang kami lewati menuju pintu lobby. Apa ArchiTera memang sudah sanggup membayar akomodasi semewah ini untuk stafnya yang mengerjakan proyek di luar Semarang?

"Mas, kita nginap di sini kah?" tanyaku saat concierge hotel mengeluarkan koper kami dari mobil.

"Iya, sampai guesthouse di dekat lokasi proyek selesai direnovasi," balas Mas Chandra dengan ponsel menempel di telinga.

Aku mengamati sekeliling. Lobby lumayan ramai, ada sekitar lima orang yang berdiri di antrean di depan meja resepsionis. Apa ini peak season? Sepertinya ada banyak rombongan yang terlihat sedang pergi liburan.

"Sudah. Sudah." Mas Chandra bicara di ponselnya. "Iya, kamu hubungi Dita saja, aku sudah bilang sama dia kemarin,"

Lalu dia menutup telepon dan sepertinya mencari nomor lain untuk dihubungi. Entah siapa. Tantri sudah dia hubungi beberapa saat setelah kami tadi mendarat.

Aku segera merogoh tas mencari ponselku yang bergetar. Telepon masuk. Tapi Reno dan Mama sudah kuhubungi di bandara tadi.

"Ya, Dok?"

"Sudah landing, Jenn?"

"Aku sudah sampai di tempat kami menginap,"

"Oh ya?"

Aku menoleh saat Mas Chandra melambai kepada seseorang lalu menurunkan ponsel dari telinganya. Itu Mas Erfan. Dia berjalan mendekati kami.

"Sebentar, Dok, nanti kuhubungi lagi?"

"Oh. Oke,"

Mas Erfan sudah berdiri di sebelah Mas Chandra saat aku menutup telepon. Aku sempat iseng googling tentang dia. Erfan Bhaktiprana adalah anak sulung Prana Koesmadji, dan dia ternyata generasi ketiga dari keluarga pendiri Grup Buana. Hanya kutemukan informasi tempat dan tanggal dia dilahirkan. Dan pendidikan-pendidikan yang pernah dia tempuh. Itu saja. Lainnya tak ada. Tapi tentang hotel tempat kami berdiri sekarang, kalau tidak salah adalah salah satu yang terbesar di Pulau Lombok ini.

Dia merangkul Mas Chandra, lalu mengulurkan tangan padaku. "Apa kabar, Jenn?" sapanya, tersenyum lebar.

Aku mengangguk, "Baik, Mas,"

"Gimana penerbangannya, nggak mampir kota dulu tadi?" tanyanya ramah.

"Mas Chandra mau langsung ke sini,"

Heart Decor Where stories live. Discover now