Part 19

15K 1.1K 104
                                    

Kepalaku berdentam-dentam, jantungku berdetak cepat sekali, peluh membasahi piyama yang aku gunakan, dan badanku terasa sangat lemas seakan-akan aku telah berlari mengelilingi bumi bersama sang bulan semalaman.

Nafasku tersengal dan sakit di kepalaku semakin menjadi-jadi saat aku mencoba mengingat apa yang aku alami.

Semakin aku berusaha mengingatnya semakin sakit pula rasa sakit di kepalaku, kujambak rambutku frustasi hingga ada sepasang tangan kekar menghentikan aksiku.

"Vinsa apa yang terjadi? Kenapa kau begini? Tidak ada yang menyakitimu kan?" Tanyanya beruntun penuh kekhawatiran

Deg

Jantungku kembali berpacu namun kali ini bukan karena perasaan sedih dan gelisah melainkan perasaan bahagia dan lega. Aku berharap pendengaranku tidaklah salah.

Sontak kulihat sosok pemilik tangan kekar yang kini tengah menatapku khawatir. Aku tak bisa berkata apa-apa, tak ada kata-kata yang sanggup keluar dari bibirku. Hanya air mata yang sanggup aku lontarkan.

"Kenapa kau menangis seperti ini Vinsa? Sebenarnya apa yang terjadi? Katakan padaku! Kau membuatku khawatir sayang." Dapat kulihat sorot ketakutan dari matanya yang biasanya penuh intimidasi.

Mungkin isakan tangis yang hanya bisa aku keluarkan tanpa mengatakan apa yang terjadi menambah kekhawatirannya.

Bukannya aku ingin membuatnya begitu tapi aku benar-benar tidak bisa mengeluarkan suaraku. Aku tidak bisa mengungkapakan betapa bersyukurnya aku melihatnya disini, disampingku.

Reflek aku langsung memeluk sosok dihadapanku ini. Tangisku semakin kencang, mungkin ini satu-satunya cara menghilangkan rasa sesak di hatiku selama berhari-hari semenjak kepergiannya.

Seolah mengerti apa yang aku butuhkan, dia membalas pelukanku dan mengelus punggungku berusaha menenangkanku dan kurasa itu berhasil. Perlahan tangisku reda yang tersisa kini hanya ingus yang keluar masuk akibat aku menariknya lagi, tapi itu sungguh mengganggu dan saat itu yang kulihat hanya kemeja yang dipakai Kevin jadi tanpa tunggu waktu aku mengelap ingusku dengan kemejanya mumpung orangnya belum menyadari.

Lagipula itu semua kan salahnya jadi dia harus tanggung jawab hehe.

"Sudah lebih baik? Sudah puas mengelap ingusmu?" Tanya Kevin datar tanpa menunjukkan rasa kesalnya atas perbuatanku. Ternyata dia tahu ya, aku jadi malu.

Aku melepaskan pelukanku dan menganggukkan kepalaku sambil menyeka sisa ingus yang tersisa. "Aku tidak mengelap ingusku dengan kemejamu, itu tadi karena kau dekat-dekat denganku." Jawabku menahan malu.

"Tidak masalah jika kau ingin mengelap air matamu atau ingusmu lagi dengan pakaian yang aku pakai karena aku bahagia menjadi tempat bersandarmu." Kevin memandangku penuh kelembutan. "Tak perlu malu ataupun ragu, aku disini untukmu." Ucapnya tulus yang membuat hatiku menghangat.

'Aku mohon kali ini jangan rusak momen romantis ini dengan kata-kata aroganmu.' Aku berharap dalam hati.

Lama kami terdiam, tak ada yang berusaha untuk memulai obrolan lagi, hanya kesunyian dan kecanggungan. Mungkin hanya aku yang merasa canggung sedikit dengan sikap Kevin yang seperti ini. Tapi sebenarnya aku menyukai dia yang seperti ini, sama seperti dulu mungkin hanya aku belum terbiasa lagi dengan sikapnya yang hangat.

"Ayo segera mandi dan berdandan yang cantik. Aku ingin menunjukkan sesuatu." Akhirnya Kevin yang memecah kesunyian diantara kami.

"Kenapa aku harus berdandan yang cantik, memangnya aku jelek ya? Lagipula kau ingin menunjukkan aku apa?" Rupanya otakku sudah mulai berfunsi dengan baik.

Life With A PsychoOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz