Part 21

11.4K 941 34
                                    


Setelah kepergian Kevin aku termenung memikirkan pertanyaannya tadi. Apakah aku mulai tergantung dengan keberadaan Kevin di sampingku.Itu tidak boleh terjadi, aku tidak mau menggantungkan hidupku pada orang lain. Aku tidak mau terlalu percaya pada siapapun karena aku tak mau hancur jika orang itu meninggalkanku.

Sudah cukup aku merasakan luka karena selalu ditinggalkan orang-orang yang aku sayangi. Aku tidak mau hal serupa terjadi lagi dalam hidupku yang pahit ini. Kurasa aku sudah tak mampu lagi menanggung sakit jika harus merasakan luka kehilangan lagi.

Memikirkannya membuatku pusing dan sesuatu bergejolak di perutku. Kurasa badanku sedikit kurasa sehat. Tiba-tiba aku ingin muntah, perutku serasa diaduk-aduk dan tubuhku rasanya lemas sekali.

Tak tahan aku segera berlari ke kamar mandi dan memutahkan isi perutku yang baru saja kuisi dengan sepotong roti bakar dengan selai strawberry yang merupakan menu sarapanku pagi ini. Bahkan setelah mengeluarkan seluruh isi perutku, aku masih merasa keadaanku belum membaik justru tubuhku semakin lemas hingga kedua kakiku tak mampu menopang berat tubuhku sendiri.

Aku terduduk cukup lama di lantai kamar mandi yang dingin untuk mengumpulkan energi agar aku mampu menggerakkan kakiku melangkah ke tempat lebih nyaman untuk mengistirahatkan tubuhku. Belum cukup energi yang terkumpul, perutku mual lagi. Entah keberuntungan atau tidak posisiku yang masih tetap di depan closet memudahkanku untuk mengeluarkan apa yang memang harus dikeluarkan. Karena mungkin makanan yang berada dalam lambungku sudah keluar semua hingga yang sanggup untuk kumutahkan hanya cairan bening saja.

Tenagaku benar-benar terkuras bahkan untuk memanggil pelayan untuk membantuku saja aku tak kuat. Hingga perlahan-lahan kegelapan mengambil alih kesadaranku.

***

"Bodoh kalian semua! Untuk apa kalian aku bayar jika menjaga istriku saja kalian tidak bisa!" Kemarahan Kevin yang pertama kali masuk ke indera pendengaranku saat kesadaranku kembali. Ya, tidak salah lagi itu pasti Kevin. Aku tebak dia ada di lantai bawah namun akibat kemarahan yang memuncak suaranya sampai terdengar di kamar kami yang terletak di lantai dua. Sungguh mengerikan amarah Kevin.

Aku yang hanya mendengar dari kejauhan saja membuatku bergidik ngeri apalagi para pelayan yang langsung berhadapan dengannya saat ini. Aku tak bisa membayangkannya.

Segera kulangkahkan kakiku menuju asal suara itu. Aku merasa kasihan dengan pendengaran dan kinerja jantung mereka jika ini terus dibiarkan berlanjut.

Mungkin bagi mereka suara Kevin seperti sangkakala yang siap ditiup oleh malaikat tapi entah kenapa hanya mendengar suara Kevin yang sedang marah itu tetap mampu membuat sesuatu dalam diriku membuncah. Bahkan aku merasa sangat sehat dan bersemangat, tidak menunjukkan tanda-tanda aku baru saja pingsan karena kehabisan tenaga.

"Jika sampai terjadi sesuatu dengan istriku! Aku aka mem-"

"Sudah Kevin. Hentikan ocehanmu, itu membuat telingaku berdengung dan kepala sakit." Aku harus segera menghentikan kemarahannya bukan dan apa perkataanku tadi mampu meredam emosinya atau malah seperti menyiram bensin di bara api yang menyala.

"Kau sudah bangun?" Syukurlah Kevin tidak semakin marah dan kini perhatian tertuju padaku sepenuhnya.

Tatapan yang tadinya berkobar penuh amarah kini memandangku penuh kelembutan dan harus kuakui aku sangat menyukainya. Karena aku merasa dicintai dan diinginkan. Itu semua hanya bisa aku dapatkan dari seorang Kevin.

"Aku tidak apa. Aku hanya lelah menunggumu kembali. Kenapa kau lama sekali." Aku tidak mengenal suara yang baru saja terlontar dari mulutku. Sungguh saat ini aku seakan seperti seorang istri hamil yang sedang merajuk kepada suaminya karena tidak di turuti.

Aku mengusir pikiran melanturku, mana mungkin aku sedang hamil. Itu tidak mungkin kan.

Tentu saja mungkin, kau wanita bersuami dan sudah tak terhitung berapa kali melakukan hubungan yang akan mendatangkan anak.

Aku menepis segala kemungkinan itu, bukannya aku tidak menginginkannya hanya saja aku belum siap untuk saat ini.

"Sudah merindukanku heh?" Kevin menggodaku.

"Tidak! Aku hanya sudah tidak tahan ingin memakan strawberry nya." Kilahku walaupun sebenarnya aku ingin menjawab 'iya' tadi.

"Baiklah kalau begitu aku akan menyuruh pelayan menyajikan buah itu untukmu."

"Tidak mau." Lagi-lagi nada manja yang menjijikkan itu yang keluar.

Kevin hanya menaikkan sebelah alisnya bingung dengan diriku.

"Aku ingin kau yang menyajikan nya untukku."

Kevin tidak berkomentar ataupun protes dengan keinginanku yang aneh itu. Apa Kevin tidak berpikir jika mungkin saja saat ini aku sedang mengerjainya.

Tak lama kemudian Kevin muncul dengan membawa sekeranjang buah strawberry segar yang mampu membuat liurku menetes.

"Sebegitu ingin nya kau dengan buah asam ini hingga liurmu menetes seperti itu?"

Enak saja dia bilang begitu, liurku tidak menetes sedikitpun. Aku memang sangat ingin memakannya tapi tidak sampai meneteskan liur ya. Dasar mulut tajam, awas saja akan kubungkam mulut dengan mulutku yang katanya meneteskan liur.

Ku gelengkan kepalaku karena pemikiranku barusan. Kenapa otakku jadi mesum begini. Kurasa orang patut disalahkan memang Kevin.

"Kau bilang apa? Liurku menetes, coba mana buktikan. Jika memang iya kau pasti ingin menjilatnya kemudian kita akan saling bertukar saliva dan..." Aku langsung membekap mulutku yang seperti tidak ada remnya itu.

Kulihat Kevin menyeringai dan mendekatiku.

"Itu boleh juga." Bisik Kevin sensual di telingaku.

"Minggir sana. Aku mau makan strawberry nya." Aku berusaha keluar dari kemesuman Kevin.

Memangnya siapa yang memulai.

Lupakan aku harus fokus kepada buah dihadapanku yang nampak menggiurkan ini.

Lebih menggiurkan buah ini atau pria seksi disampingmu.

Strawberry. Strawberry. Strawberry. Ya aku ingin Strawberry bukan Kevin.

Aku mulai melahap buah merah yang menggodaku sedari tadi.

Buah merah atau bibir merah.

Sial! Berhenti mengacau pikiranku.

"Kau suka?" Tanya Kevin di sebelahku yang sedari tadi memperhatikanku memakan buah yang dicarinya sendiri itu.

Aku hanya menganggukkan kepalaku karena mulutku penuh dengan buah ini.

"Jaga selalu kesehatanmu dan..."

Aku tidak terlalu mendengar kelanjutannya karena suara Kevin semakin mengecil seperti gumaman dan aku terlalu asyik menikmati buah yang benar-benar aku inginkan saat ini.

"Aku akan selalu menjaga kalian."

Kevin ini bicara apa. Memangnya siapa saja yang ingin dijaganya.

Sudahlah aku tidak mau memikirkan lebih jauh lagi. Aku tidak mau kepalaku berdenyut dan membuat otakku semakin bergeser lagi.

Life With A PsychoWhere stories live. Discover now