Part 22

11.2K 1K 52
                                    

"Kenapa kau tidak ingin mengandung anakku?" Tiba-tiba suara lirih Kevin mengusik kegiatan makanku. Bahkan aku tak yakin jika aku tak salah dengar karena suara Kevin yang begitu lirih menyerupai gumaman. Pertanyaan macam apa itu.

Aku mengalihkan pandanganku ke arah Kevin. Tatapan matanya terlihat sendu, tidak seperti Kevin biasanya. Sebenarnya ada apa kenapa dia jadi sentimentil begini.

"Kau tadi bilang apa?" Aku mencoba memperjelas pertanyaannya karena sudah kubilang tadi aku takut salah mendengarnya.

"Apa kau sangat membenciku?" Sepertinya tadi dia tidak bertanya tentang ini.

"Kurasa tadi kau tidak menanyakan hal ini. Sebenarnya apa yang ingin kau bicarakan?"

Kevin hanya diam dan memandangku dalam seakan menyelami isi pikiran dan hatiku. Aku bersumpah Kevin yang ini sangat menakutkan, bukan menakutkan dalam hal mengerikan hanya saja aku belum pernah berhadapan dengan sosok Kevin yang terlihat sendu dan penuh luka seperti ini. Lebih menakutkannya lagi hatiku merasa sakit seolah aku mampu merasakan rasa sakit yang dirasakan Kevin.

Aku tidak suka hatiku bergetar untuk Kevin. Sebenarnya tidak ada salah jika hal itu terjadi tapi yang aku takutkan adalah aku takut kehilangannya. Aku benci jika harus mencintai seseorang dan kemudian dia meninggalkanku sendiri seperti orangtua kandungku, Elo, juga mungkin orangtua angkatku dan aku tidak mau merasakan kehilangan lagi. Aku tidak mau kehilangan Kevin.

"Kenapa kau diam saja seperti itu. Kau membuatku takut Kevin." Ucapku memecah kesunyian yang terasa mengganggu.

"Aku suka saat kau memanggil namaku." Kini tatapan berubah menjadi berbinar seolah suaraku yang mengucap namanya mampu menghilangkan awan mendung di pelupuk matanya dan menggantinya dengan cerahnya warna pelangi.

Kevin benar-benar aneh. Apa penyakit anehku menular padanya atau mungkin saat perjalanan mencari buah strawberry tadi terjadi sesuatu dengan kepalanya sehingga membuatnya aneh seperti ini.

"Kau ini bicara apa? Kau membuatku takut Kevin."

"Apa yang membuatmu takut? Apakah aku semenakutkan itu hingga membuatmu membenciku? Dan sebenci itukah kau hingga tidak mau mengandung benihku?" Pertanyaan panjang dan bertubi-tubi Kevin suskses membuat mulutku menganga tidak percaya.

Kenapa tiba-tiba Kevin bertanya sepanjang itu dan yang lebih mengherankan lagi pertanyaan ajaib yang dilontarkannya. Bagaiman bisa dia berpikir sejauh itu. Apa mungkin dia sedang kerasukan jin. Tidak mungkin jika Kevin kerasukan jin karena pasti jin dan bangsanya juga takut jika berhadapan dengan Kevin.

"Kenapa diam saja. Kau tidak mau menjawabnya?" Kevin menuntut jawaban dariku.

Jadi dia serius bertanya itu semua. Darimana aku harus menjawabnya, aku bahkan tak tau jawabannya.

"Kau baik-baik saja kan? Apa terjadi sesuatu saat di perjalan tadi?" Tanyaku yang mungkin tak penting karena sudah jelas sosok dihadapanku ini baik-baik saja tanpa lecet sedikitpun.

"Jangan mengalihkan dengan pertanyaanmu yang tidak penting itu."

Lihat mulut tajamnya sudah mulai kembali, kurasa jin merasukinya sudah keluar karena Kevin yang menyebalkan sudah kembali. Haruskah aku bersyukur.

"Hei jangan salahku aku karena kau memang aneh dengan semua pertanyaanmu itu. Kenapa tiba-tiba kau membahas hal itu. Kau pasti tau dengan jelas kan jawabannya." Bagus. Mulut pedasku juga sudah kembali. Kali ini jangan salahkan mulutku karena Kevin dulu yang memancingnya.

Jika aku mampu berbicara seperti itu apa mungkin jika penyakit anehku juga sudah hilang.

"Jadi benar ya." Kevin mengulas senyum lemah menunjukkan betapa rapuhnya dia saat ini.

Kenapa dia harus menunjukkan wajah terlukanya itu, sungguh dia membuatku lemah. Seorang Kevin tidak mungkin selemah itu karena kurasa tidak ada yang mampu membuatnya terluka di dunia bahkan raja iblis sekalipun. Lalu kenapa dia seolah kesakitan dengan kata-kata yang terlontar dariku. Sebegitukah berharganya diriku. Bolehkah aku menikmati kebahagianku tanpa takut kehilangan lagi.

Kebahagian karena merasa dicintai dan diinginkan. Haruskah aku membuka hatiku untuk Kevin.

"Bukan...maksudku aku...aku sudah tidak terlalu membencimu." Jawabku gugup berusaha untuk berbicara jujur jika perasaan benci dalam hatiku kini sudah berganti menjadi perasaan lain yang lebih menyenangkan sekaligus menakutkan.

Ya walaupun aku sudah tidak membencinya seperti dulu tapi aku juga tidak bisa menjatuhkan harga diriku didepannya dengan mengakui kebenarannya. Setidaknya aku akan menunjukkan sedikit dari kebenaran itu. Bukankah ego wanita itu tinggi.

"Benarkah? Kau sudah tidak membenciku lagi?" Terselip nada bahagia dan lega dari pertanyaan itu menandakan dia sangat berharap dengan jawabanku kali ini.

"Aku tidak bilang sudah tidak membencimu, aku hanya bilang tidak terlalu membencimu." Sanggahku mempertahankan harga diriku.

"Tidak apa, setidaknya rasa benci dalam hatimu sudah terkikis dan tidak menutup kemungkinan akan menghilang seiring berjalannya waktu bukan." Ucap Kevin penuh yakin dan penuh harapan.

'Tidak perlu menunggu sang waktu lagi karena rasa benci itu sudah terkikis dan bahkan sudah berganti menjadi rasa cinta. Mungkin.'






Kalo pengen update cepet minta vote sama komennya ya 😀

Life With A PsychoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang