Wattpad Original
Ada 18 bab gratis lagi

Part 21 - Suffer #2 - Vacation

329K 26.2K 1.5K
                                    

Sambil memilin-milin jaket di pangkuannya, Nic duduk di sebuah kursi panjang dekat dengan sebuah ruang kelas yang sayup-sayup terdengar lantunan bunyi piano yang memainkan lagu Twinkle Twinkle Little Star. Ia berada di sebuah sekolah kursus musik yang cukup terkenal dan baru saja melakukan tes praktik dan wawancara. Yah, ia melamar sebagai guru musik di sana untuk jam kerja malam. Sebenarnya sejak lima hari lalu ia menelepon semua tempat kursus musik dan menanyakan apa ia bisa melamar pekerjaan di sana. Empat diantaranya menjawab ada lowongan. Nic sudah memikirkan bahwa ia tidak boleh menyerah sebelum berusaha makanya ia sangat antusias dengan pekerjaan ini meski hanya sebatas free lance.

Ketiga tempat yang pertama sudah menolak Nic. Entah apa alasan mereka tiba-tiba berubah pikiran padahal saat tes praktik mereka semua memuji kemampuannya. Ini adalah harapan terakhir Nic...untuk saat ini. Nanti ia akan mencari ide baru lagi jika gagal.

Masalahnya interview di tempat terakhir ini terjadi pada pagi hari di mana seharusnya Nic sudah sampai di kantor. Ponselnya sudah bergetar berkali-kali tapi Nic tidak bisa mengangkatnya. Itu panggilan dari Daniel. Dan setelah lima kali menelepon, pria itu tidak meneleponnya lagi. Bagaimana Nic bisa mengangkatnya sementara ia sedang dalam wawancara?

"Evelyn Diandra?" seorang wanita muncul dari pintu kantor kursus musik itu memanggil namanya.

"Saya." Nic langsung berdiri dengan gugup. Ia masuk ke ruangan seluas ukuran kamar itu dengan hati-hati dan duduk di depan meja seorang pria gemuk berkacamata sesuai yang dipersilakan wanita tadi.

"Maaf, kami belum bisa menerima anda saat ini." ucap pria itu.

Nic menghela napas. Ia gagal. Mau bagaimana lagi?

"Tidak apa," Nic mengangguk-angguk. "Terimakasih atas kesempatannya."

"Kami ingin memastikan sesuatu. Apa benar anda bekerja pada Daniel Wiraatmaja, pemilik stasiun televisi itu?"

Alis Nic langsung mengerut karena kebingungan. "Benar...tapi...ada apa?"

"Sebenarnya kami sejak awal mempertimbangkan anda untuk bekerja di sini. Tapi manager kami tiba-tiba berubah pikiran dan menolak karena permintaan Daniel Wiraatmaja lewat telepon tadi. Dan ada pesan juga katanya Daniel Wiraatmaja sedang menunggu anda di jalanan bawah."

***

Nic berjalan dengan gusar menuruni tangga dan keluar dari kantor kursus musik itu. Jangan ditanya bagaimana perasaannya saat ini. Jelas jauh dari kata senang. Hatinya sudah bergejolak seperti Godzila yang sedang mengamuk di tengah kota New York. Ia langsung menghampiri mobil hitam yang sedang berjalan pelan di sisi jalanan beraspal dekat trotoar. Dengan tidak sabar ia mengetuk pintu kaca mobil.

"Masuk, Evelyn. Sebenarnya di sini tidak boleh parkir." ujar Daniel setelah kaca mobil itu turun perlahan.

Nic membuka pintu dan duduk di tempatnya seperti biasa lalu menutup pintu dengan membantingnya.

"Bagaimana wawancaramu?" tanya Daniel berbasa-basi.

"Diam!! Aku sedang tidak ingin berbicara!!" sahut Nic tanpa menoleh pada Daniel.

Daniel tertawa. "Salahmu. Aku meneleponmu berkali-kali tapi kau tidak mau mengangkatnya, sih."

Nic hanya diam saja. Ia tidak menoleh pada Daniel sedikitpun.

"Ini, makan dulu," Daniel menyerahkan bungkusan sandwich pada Nic. "Biasanya orang lapar cepat marah."

Pelan-pelan Nic menoleh dan menatap makanan itu sejenak. Selain Godzila yang bergejolak di hatinya, perutnya juga bergejolak dengan cacing-cacing yang sudah berdemo meminta makanan. Ia memang belum makan sejak pagi. Terpaksa Nic menerimanya dengan kesal. Nic membuka plastik sandwich itu sebagian agar tidak terkontaminasi tangannya.

"Tega sekali anda melakukan ini padaku!" Nic menangis dengan mulut berjejalan roti. "Aku memerlukan pekerjaan itu. Lagipula pekerjaan yang kuambil itu juga shift malam jadi tidak akan mengganggu jam kerjaku pada anda..." Daniel mengangguk-angguk sambil tersenyum mendengarnya. "Anda menelepon keempat kantor itu agar mereka menolakku, bukan?"

Daniel menyerahkan tisu pada Nic. Nic menerimanya lagi dan menyeka airmata serta ingusnya. Segera ia lanjut menghabiskan rotinya hingga tak bersisa.

"Ini." Daniel menyerahkan gelas cup yang terlihat berisi coklat panas. Nic menerimanya tanpa ragu-ragu dan meminumnya.

"Merasa lebih baik?"

Nic mengangguk-angguk. "Aku bisa sendiri." selanya sambil mengambil tisu yang digunakan Daniel untuk mengelap bibirnya yang belepotan coklat.

"Aku melakukannya untuk kebaikanmu. Kalau kau bekerja siang malam nanti kau bisa sakit dan absen bekerja. Itu tidak baik 'kan?" jelas Daniel.

"Aku tidak pernah sakit." gerutu Nic.

"Omong kosong. Semua manusia bisa sakit," Daniel berdecak. "Kau hanya stress. Yang kauperlukan sekarang adalah liburan."

Nic menoleh dengan berbinar-binar. Daniel akan memberinya libur? Itu terdengar seperti surga. "Anda memperbolehkanku libur?"

Daniel tersenyum sambil mengambil sesuatu semacam katalog di kompartemen mobilnya. "Tentu saja. Sekarang juga malah. Aku akan mengajakmu berlibur. Kebetulan aku memang sedang ingin berlibur." Ia memperlihatkan gambar lapangan golf yang dilengkapi hotel dan kolam renang pada Nic.

Seketika itu juga harapan Nic yang melambung tinggi langsung jatuh ke dasar jurang. "Tidak. Tidak..." Nic menggeleng-geleng. "Anda tidak mengerti. Definisiku mengenai liburan itu adalah jauh-jauh dari anda. Aku ingin berlibur sendiri!" bentak Nic histeris.

"Apa asyiknya berlibur sendirian? Kau seperti makhluk jompo saja."

"Aku tidak mau berdua saja dengan anda!"

"Kau terlalu mengganggap tinggi dirimu. Kalau aku ingin memanfaatkanmu untuk hal yang tidak-tidak pasti sudah kulakukan beberapa hari lalu saat kau mabuk dan tidur denganku."

Memang benar juga apa yang dikatakan Daniel. Ia memang tidak cantik-cantik amat, tapi masalahnya bukan di sana. Pria itu yang terlalu sempurna. Itu masalahnya. Sesekali melihat saja Nic sudah sering terpesona apalagi jika berlama-lama. Bisa-bisa Nic jatuh cinta padanya dan Nic tahu itu hanya kekaguman sesaat seperti saat ia tergila-gila pada Joe Jonas lalu dengan cepat ia melupakannya setelah menemukan idola baru. Daniel mengaburkan pandangan Nic mengenai cinta sejati. Seandainya ia benar-benar mencintai Daniel pun, itu adalah hal yang sia-sia. Nic ingin menikah suatu hari nanti, sedangkan pria itu tidak. Lagipula ia terlalu tua untuk Nic meski Daniel memiliki wajah bayi. Nic tahu dari kartu pengenal pria itu saat ia mencopetnya dulu.

Sekian.

"Tenang saja, masalah tadi sebenarnya tidak perlu kaupikirkan," lanjut Daniel. "Aku juga mengajak temanku kesana jadi kita tidak akan berdua saja."

"Dan teman anda itu pasti adalah pria yang sama bejatnya dengan anda. Biasanya buaya tidak berada jauh-jauh dari kumpulannya." ujar Nic pasrah.

"Kau bisa saja," Daniel tertawa. "Pendapatmu juga ada benarnya sedikit. Tapi kulihat kau juga perlu banyak-banyak bergaul dengan pria, Evelyn. Kau bilang kau ingin menikah, bukan? Padahal kau sudah berumur dua puluh lima. Seharusnya sebentar lagi kau menikah."

"Itu adalah urusan pribadiku, Pak Fernandez. Aku tidak perlu bergaul dengan banyak pria. Aku sudah punya seseorang..."

"Ya...ya, aku tahu," Daniel menyela sambil mengangguk-angguk. "Kau sudah pernah menceritakannya. Irfan itu kan namanya."

"Stevan!" bentak Nic kesal.

"Iya, Stevan." Daniel tertawa.

🌸🌸🌸

DANIEL AND NICOLETTE  (SUDAH DISERIESKAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang