1. Ibu & Motor Butut

390 59 78
                                    

"Tunggu apa kamu? Cepetan naik!" teriak seorang wanita berusia tiga puluhan tahun itu dari kejauhan. Mengenakan kaos oblong putih berpadukan celana jeans. Wanita dengan wajah sedikit kusam karena keringat, debu, dan make up tipis yang luntur menjadi satu. Sebagian rambut pendeknya terlihat dari balik helm yang ia kenakan.

Ya. Dia adalah ibu Farhan. Single parent masa kini.

Farhan yang sedari tadi menoleh kanan-kiri seolah menunggu sosok lain lain itu pun akhirnya memutuskan untuk naik ke motor butut sang Ibu. Setelah memakai helm kecil abu-abu, kedua tangan mungil Farhan memeluk erat Sarah.

"Ibu ini sibuk, kamu kok nggak ngerti-ngerti sih!" ketus Sarah. Ia pun segera tancap gas.

Hembusan angin terasa menyejukkan di panas yang menyengat. Sarah mengemudi dengan kecepatan 50km/jam. Bisa dibilang, ia sangat handal mengendarai motor. Salip kanan lalu salip kiri. Menerobos kemacetan pun sudah jadi hal yang biasa baginya.

"Jangan pakai hape, Bu. Gimana kalau kita nanti jatuh?" ucap Farhan yang tak bisa diam ketika melihat ibunya menyetir sambil memainkan ponsel. Sementara beberapa meter di depannya, sebuah mobil box berjalan cukup lambat.

Sarah tak menggubris ucapan Farhan. Ia tetap memainkan tombol-tombol di layar sentuh itu. Perkataan sang anak bagai angin lalu yang tak perlu didengar. Apa yang tengah ia lakukan dengan ponsel saat ini jauh lebih penting. Hingga kemudian ....

Tiin tiin ....
Seorang pria berseragam polisi dengan motor besarnya menjajari motor Sarah.

Sarah yang sedari tadi sibuk membalas pesan, buru-buru memasukkan kembali ponsel ke dalam saku celana jeans dengan susah payah.

"Ibu, tolong minggir. Berhenti sebentar," ujar polisi dengan rompi hijau itu.

Bukannya berhenti, Sarah nekat menambah kecepatan dan kabur. Ia salip mobil box super lambat itu, juga beberapa mobil di depan yang berjalan layaknya siput.

Teramat nekat.

Apalagi namanya jika bukan nekat? Motor butut yang hanya bisa lari maksimal 60km/jam itu bersaing dengan motor polisi yang jelas lebih bagus dan punya kecepatan lebih dari 100km/jam.

"Udahlah Bu, kita berhenti aja," ajak Farhan di tengah kecemasan Sarah. Dan lagi-lagi ucapan Farhan tak dihiraukan.

Motor polisi itu pun sudah kembali menjajari motor Sarah.

"Harap berhenti!" teriak polisi itu. Kali ini dengan wajah garang. Mungkin sudah jengkel dengan pengendara kurang ajar di sampingnya.

Mau tak mau, akhirnya Sarah mengurangi kecepatan motor lantas menepi dan berhenti. Begitu pula dengan polisi lalu lintas yang mengejarnya.

Sarah tak bergerak. Ia tetap duduk di atas motornya. Memasang wajah tak bersalah.

"Selamat siang! Saya Adit. Polisi lalu lintas yang bertugas hari ini. Bisa tunjukkan KTP, SIM dan STNK milik Ibu?" pinta polisi itu tanpa basa basi.

Sarah menyuruh Farhan turun dari motor. Begitu juga dengannya yang kemudian membuka jok motor tempat dompet merah itu disimpan. Ia segera mengambil apa yang diminta petugas polisi tanpa menjawab sepatah kata pun.

"Ibu, tau salah ibu apa?" tanya polisi berbadan tegap itu sambil memeriksa data Sarah. Mimik mukanya yang serius membuat Farhan sedikit ketakutan. Ia hanya diam di balik punggung Sarah.

"Saya nggak tau," jawab Sarah singkat dengan wajah datar. Seolah tak merasa bersalah sama sekali.

"Ibu pakai ponsel saat berkendara! Ibu bisa menyebabkan kecelakaan dan melukai diri sendiri atau orang lain," jelas polisi itu. "Dan juga anak Ibu," lanjutnya sambil melihat anak kecil yang bersembunyi di balik Sarah.

Sarah hanya menghela napas panjang dan menyerah. Sebelumnya ia juga pernah ditilang polisi. Saat itu ia menerobos lampu merah dan membuat kekacauan di pertigaan. Jadi, ini bukan kasus tilang pertama baginya.

"Gimana kalau kita damai saja?" tiba-tiba Sarah membuat negosiasi. Sayangnya, polisi itu hanya mengernyitkan dahi, tak merespon.

"Ah, nggak jadi, nggak jadi," lanjut Sarah yang seolah bisa membaca pikiran petugas polisi itu. Petugas yang satu ini tak bisa diajak kompromi.

"Mau transfer langsung atau sidang?" tanya petugas polisi.

"Sidang aja," jawab Sarah. Petugas polisi itu pun mulai sibuk menulis di atas sebuah kertas.

"Silahkan bayar dendanya usai sidang." Polisi itu lalu menyerahkan satu lembar surat tilang disertai STNK dan KTP milik Sarah, sementara SIM milik Sarah menjadi barang bukti yang hanya bisa diserahkan ketika wanita itu sudah mengikuti sidang dan membayar denda.

Sarah hanya memandangi kertas tilang berwarna merah yang sedang dipegangnya, sebentar kemudian melipat dan memasukkan ke dalam dompet bersama KTP dan STNK.

"Jangan diulangi lagi, Bu. Tetap hati-hati saat berkendara. Selamat siang!" ucap polisi itu lalu pergi meninggalkan Farhan dan Sarah yang hanya menjawab dengan anggukan kepala.

"Sudah kubilang kan ...." ucap Farhan pelan sementara matanya masih memandang ke arah polisi lalu lintas yang sudah menjauh. Sarah yang mendengar itu hanya melirik sekilas. Kemudian mengalihkan pandangan pada motor butut yang dirasa tak bisa diajak kerjasama.

Beberapa saat kemudian, mereka melanjutkan perjalanan pulang yang sempat terhenti.

***


Revisi #1
29 September 2018

The Last Memory [Proses Revisi]Where stories live. Discover now