5. Cokelat

160 37 59
                                    

"Siapa sih yang kalian bicarakan?" Asma tampak penasaran. Ia benar-benar tak suka jika ada rahasia yang hanya diketahui suami dan putrinya. Itu sangat menjengkelkan.

"Disya, kamu aja yang cerita," perintah Pak Doni. Disya mau tak mau akhirnya menceritakan semua detail yang sudah ia ceritakan pada Papanya saat di sepermarket tadi. Niatnya merahasiakan hal itu jadi lebur.

"Ya ampun, Disya ... Mama kan udah pernah bilang ke kamu, jangan suka lari-lari, apalagi di keramaian," ucap Asma setelah mendengar penjelasan putrinya.

"Maaf, Ma...," ucap Disya dengan nada sedih.

"Sayang banget tadi kita nggak lihat anak laki-laki itu. Dia belok ke kiri, sedangkan kita lurus," ucap Pak Doni sambil sesekali melirik ke arah spion lebar yang memperlihatkan keadaan di belakang mobil. Ia melihat putrinya yang sedikit kecewa.

"Lain kali mungkin bisa ketemu lagi. Lagian kan temen Disya di sekolah juga banyak" ucap Asma turut menghibur.

Disya hanya terdiam. Selintas kemudiam ia tersenyum kecil. Tangan kecilnya menari-nari di balik kaca mobil sedan berwarna putih itu. Sesaat kemudian ia bersenandung pelan. Menyanyikan lagu anak-anak yang sudah ia hafal sejak TK.

***

Usai makan malam sendirian, Farhan beranjak ke kamarnya. Berniat untuk mengerjakan PR yang diberikan Bu Hesti.

Ia mengambil tas hitam miliknya yang sudah sedikit usang. Belum sempat ia mengambil buku PR, sudah teringat soal surat edaran itu. Surat itu ia pegang dengan kedua tangannya, membukanya lebar-lebar lalu menghela napas panjang.

Tinggal seminggu lagi sebelum kegiatan itu dilaksanakan. Farhan belum memberitahu perihal ini pada ibunya sama sekali. Setiap kali ingin bicara, ibunya tak mau mendengarkan. Sama sekali tak ada kesempatan.

Kreekk...
Suara pintu depan dibuka.

"Sepertinya ibu sudah pulang," gumam Farhan dalam hati. Ia segera menuju ruang tamu dengan membawa selembar kertas penting itu.

"Oh, Farhan? Kamu belum tidur?" ucap Sarah yang baru saja pulang dari bekerja.

"Kamu sudah siapkan air hangat untuk Ibu, kan?" tanya Sarah kemudian. Ia melewati Farhan yang hanya diam, menuju dapur dan mendapati panci berisi air panas dengan kompor gas yang masih menyala kecil.

Farhan hanya menelan ludah. Lagi-lagi ia tak bisa berkata-kata. Hanya memandangi ibunya yang sibuk menyiapkan air untuk mandi.

"Besok pagi saja," gumam Farhan dalam hati. Ia lalu kembali ke dalam kamarnya. Menuntaskan niatnya mengerjakan PR.

***

"Bu, sekolah Farhan akan mengadakan kegiatan," ucap Farhan pelan hampir tak bersuara.

"Apa? Kamu bilang apa tadi?" tanya Sarah sambil membawa dua piring nasi goreng di tangannya. Ia letakkan nasi goreng itu di meja dan merebut kertas yang sedari tadi dipegang Farhan sambil berdiri di samping meja. Farhan hanya menundukkan kepalanya, harap-harap cemas.

"Bilang aja sama gurumu, kita nggak ikut," ucap Sarah santai lalu duduk. Ia remas-remas kertas itu lalu membuangnya di tempat sampah yang sebenarnya agak jauh letaknya. Ia melemparkan kertas itu layaknya atlet softball.

Sesuai dugaan. Farhan pun tak begitu kecewa. Ia lantas duduk dan menikmati nasi goreng yang dibuat ibunya.

"Kita nggak punya uang buat acara begituan. Kamu tau kan? Ibu harus bayar denda tilang waktu itu?" ucap Sarah sambil terus mengunyah nasi gorengnya. Celotehannya hampir tak terdengar dengan jelas.

The Last Memory [Proses Revisi]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin